Studi Epistema Dan Pergolakan Al-Ghazali

MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM
Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali
Oleh MN.Ary B™


“Siapa yang tidak pernah ragu,... tidak akan pernah tahu”
(Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl)


Perjalanan Sang Imam
Imam Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, dilahirkan pada tahun 450 H (1058 M) di Thabran tepatnya kota Thus, masih masuk wilayah Khurasan. Ayahnya, seorang shalih bekerja sebagai pemintal bulu domba (yaghzulu al-shuf),[1] dan menjualnya di tokonya yang juga di kota itu.
Ayah Ghazali meninggal sebelum dia sampai pada umur yang bisa dianggap dewasa. Sebelum ayahnya meninggal sempat menyerahkan dia dan saudarannya "Ahmad" kepada teman ayahnya, seorang sufi, untuk mendidik mereka berdua.
Ghazali kecil belajar dasar-dasar ilmu bahasa arab dan fikih kepada seorang ulama di negaranya yaitu Imam Ahmad bin Muhammad al-Radhikani. Saat usianya belum sampai dua puluh tahun, ia pindah ke daerah Jurjan belajar kepada Imam Abi al-Qasim Ismail bin Mus'adah al-Ismaily. Kemudian kembali lagi ke Thus dan tinggal disana selama tiga tahun.
Setelah itu, pergi ke Naisabur belajar kepada Imam Haramain al-Juwainy, kepala madrasah Nidhamiyah saat itu.[2] Kepada beliaulah Ghazali belajar ilmu fikih, ushul, jadl, mantiq, kalam, dan filsafat. Pada saat inilah Ghazali, sang pemikir, mulai menelurkan karya-karyanya.[3]
Setelah Imam al-Haramain meninggal dunia (478 H/1085 M) Ghazali pergi ke majlis Wazir Nidham al-Mulk al-Saljuqi, yakni Wazir dari Sultan Maliksyah di Naisabur. Sang Wazir sangat takjub akan ilmunya, terkhusus ilmu kalam dan filsafat yang ia kuasai. Hingga Sang Wazir meminta Ghazali untuk mengajar di Madrasah Nidhamiyah yang terletak di kota Baghdad. (484 H/1091 M).[4]
Muridnya sangat banyak, diantaranya terdapat sekitar tiga ratus pembesar ulama ikut belajar kepadanya, karena takjub akan ketinggian ilmu Sang Imam.[5] Disitu Ghazali mendapatkan kemasyhuran, hingga seorang Abdul Ghaffar bin Ismail al-Farisy berpendapat bahwa; saat itu Ghazali patut untuk menyandang gelar sebagai Imam bagi Khurasan dan Irak.

Pergulatan Sang Pemikir
Di Baghdad inilah Ghazali benar-benar serius dalam mendalami filsafat. Ia pelajari filsafat-filsafat pendahulunya seperti Farabi dan Ibnu Sina. Setelah merasa cukup dalam mempelajari filsafat, ia menulis buku "Maqâsid al-Falâsifah" sebagai antitesis dari buku-buku filsafat yang telah dibacanya. Kemudian di lanjutkan dengan menulis buku terkenalnya "Tahâfut al-Falâsifah".
Tujuan pokok ditulisnya buku-buku ini, adalah untuk menghancurkan metode aqliyyah yang di pegang para filosof. Akan tetapi dia tidak menolak filsafat-filsafat itu secara keseluruhan, karena dalam pandangannya, terdapat pendapat-pendapat filosofis yang tidak bertentangan dengan agama.[6]
Di Baghdad ini pula terjadi pertentangan di hati Sang Imam , ia berpikir untuk tidak mengajar lagi. Saat itu adalah masa jayanya. Namanya harum bagaikan kasturi, hidupnya bergelimang harta dan kedudukan. Setelah mengalami kebingungan dan kegelisahan yang cukup lama, mempertahankan kenikmatan dunia atau menapak jalan menuju amal-amal keakhiratan, ia memutuskan untuk meninggalkan baghdad (1095 M).
Ungkapannya dalam menggambarkan kegelisahan hatinya;

“Kutelisik diriku, ternyata diriku telah tenggelam dalam berbagai kebergantungan, kebergantungan itu telah meliputiku dari segala arah. Kulihat apa yang telah kuperbuat selama ini, kudapati, terbaik yang pernah kulakukan hanyalah belajar atau mengajar. Tapi, kebanyakan dari itu semua adalah ilmu-ilmu yang tidak berguna bagi akhiratku”.[7]
“Terus terjadi di diriku, pertarungan dua keinginan. Mempertahankan kenikmatan dunia yang telah kudapat, atau mengikuti nuraniku, untuk menerima panggilan, menapak jalan ke arah Tuhan. Kurang lebih enam bulan, mulai dari bulan Rajab tahun 488 H. Pada bulan ini, usahaku untuk memilih telah mencapai titik klimaks. Aku kesakitan. Allah membungkam mulutku, hingga tak lagi ada kemampuan untukku mengajar.
Pada suatu hari, aku memaksa diriku untuk keluar, berdebat dengan orang-orang yang tidak bersesuaian pendapat denganku, seperti kebiasaanku yang telah lalu. Berharap mereka tentram setelah kujawab. Tapi ternyata, aku tidak mampu untuk mengucap sepatah kata pun, sama sekali tak mampu. Hingga akhirnya, akupun tak lagi bernafsu untuk makan dan minum.
Tabib yang merawatku berkata: Ini adalah penyakit yang datangnya dari hati. Tidak ada obatnya, kecuali hanya dengan mengistirahatkan segala kepedihan yang menyakitkan. Setelah tubuhku cukup sehat, dan keputusan telah kudapat, aku penuhi panggilan Allah untuk menapak jalan kepadanya, tanpa keraguan lagi. Maka mudahlah bagi hatiku, untuk meninggalkan segala kedudukan, harta, anak-anakku, juga sahabat-sahabatku”.[8]

Ghazali berani mengambil keputusan ini, setelah yakin bahwa hakikat dari keimanan dan kebenaran tidak akan di dapat oleh orang yang hatinya dipenuhi oleh keinginan untuk mendapatkan kedudukan, harta, serta perasaan cinta terhadapnya.[9]
Melepaskan segala keraguan, pada bulan Dzulqa'dah 488 H, Ghazali bertolak dengan niat melaksanakan ibadah haji. Sampai di Damaskus pada permulaan tahun 489 H. Sementara waktu ia menetap disitu selama sepuluh tahun. Kemudian menuju al-Quds, ke Kairo, dan hinggap di Iskandariah. Selama itu ia hanya sibuk dalam pensucian diri, membersihkan hati dengan selalu mengingat Allah Swt. Dimanapun berada.
Ghazali kembali ke Baghdad, tetapi di Baghdad sama sekali tidak mengajar seperti kebiasaannya dulu; sebelum melakukan perjalanan mencari Tuhannya. Hingga Wazir Fakhr al-Mulk memintanya untuk mengajar di Nidhamiyah Naisabur. Ia terima permintaan Sang Wazir, tapi tidak lama, setelah satu tahun berada di Naisabur, ia beranjak menuju Thus tempat kelahirannya. Ia memutuskan untuk menetap di situ, selama itu kesibukannya hanya beribadah dan mengajar hingga wafatnya (505 H /1111 M). [10]
Dari perjalanannya dalam mencari kebenaran sejati, dapat disimpulkan bahwa masa kehidupan intelektual Sang Imam terbagi menjadi tiga fase:
Pertama: Masa mulainya keraguan; saat ia mulai dalam pengembaraan intelektual. Sebagaimana ungkapan Ghazali, bahwa kegelisahan dirinya akan hakikat kebenaran, bermula dari saat mudanya.[11]
Kedua: Masa memuncaknya keraguan; saat itu ia mengalami kebimbangan akan semua kebenaran, dalam waktu yang cukup panjang. Suatu pergolakan jiwa yang tentunya sangat menyiksa dirinya. Sebagaimana dinyatakan Ghazali dalam “al-Munqidh Min al-Dhalâl”, bahwa masa itu, ialah masa giatnya menulis tentang ilmu kalam, kritik filsafat, dan kritik mazhab al-ta'lim (bâthiniyyah). Saat itu, ia sedang mengajar di madrasah Baghdad tentang ilmu syariat . Tidaklah mengherankan kalau ia mengalami kebingungan dan kegelisahan yang dahsyat. Karena disitu ia sering mengaduk-aduk, memilah-milih kebenaran dan kesesatan yang ada dalam filsafat dan madhab-madhab lainnya, hal ini mengakibatkan terombang-ambingnya metode berpikir Sang Pemikir ini. Sedangkan di sisi lain ia adalah seorang yang ahli dalam ilmu syariat.[12] Kebingungan seperti ini sering pula terjadi pada para pemikir lainnya. Diantaranya Abu Abdillah Muhammad bin Abdul karim al-Syahrastani, Abu al-Ma'ali al-Juwainy, al-Khoufajy, Imam al-Razi.[13]
Ketiga: Masa selesainya pencarian; apa yang dicarinya selama perjalanan itu telah ia dapati, hatinya pun tenang, tidak gelisah lagi.[14]

Politik Dan Cendekiawan Di Seputar Sang Ilmuwan
Masa hidup Ghazali adalah masa yang sangat gemilang dalam percaturan keilmuan di dunia Islam. Para pelajar berbondong-bondong menghadap para guru untuk mengeruk ilmu dari mereka. Penuh semangat dan gairah. Segala macam keilmuan berkembang dengan pesat, terkhusus filsafat. Bukan semata-mata karena ingin menjadi ilmuwan yang berguna, menimba ilmu hanya lillâh; karena banyak juga ketertarikan mereka yang lebih di recohi oleh keinginan-keinginan lain. Walaupun ada yang murni, ikhlas.
Adalah, keinginan untuk pangkat dan kemasyhuran, dekat dengan para pejabat kala itu, Ghazali pun terseret juga dalam ambisi seperti ini, hingga akhirnya ia taubat, dan memperbaiki niat.[15] Terdapat sedikit sekali yang benar-benar ikhlas dalam perjuangan mereka menuntut ilmu. Di arah lain, para pembesar negeri pun membutuhkan bantuan ulama untuk mencapai maksud-maksud mereka terhadap rakyat. Karena saat itu, agama adalah faktor utama kekuatan penguasa dalam menjaring ketundukan rakyat. Wal hasil simbiosis mutualisme pun terjadi, setepuk dua tangan, lalat pun kena.[16]
Menurut sejarawan, perkembangan filsafat Islam dibidani oleh madhab Mu'tazilah, sebuah madhab yang terkenal dengan madhab olah pikir. Madhab ini mencoba untuk mengkomparasikan antara agama dan akal, pada agama Islam. Dalam membedah akidah-akidah agama dan membantai musuh-musuhnya, mereka menggunakan piranti filsafat yang mereka adopsi dari filsafat Yunani juga selainnya, sebagai alat justifikasi bagi kebenaran pendapat mereka dan kesalahan pendapat musuhnya.
Hal itu bisa terjadi, dikarenakan gerakan penterjemahan dengan agresif-nya tengah merambah dunia Islam. Karya-karya Aristoteles “Sang Mu’allim al-Awwal” juga para filosof lainnya, di terjemahkan dari bahasa Greek ke bahasa Arab. Baik secara langsung dari bahasa Yunani ke bahasa Arab, maupun dari bahasa Suryani. Karena sebagian besar buku-buku filsafaat Yunani telah di terjemahkan ke bahasa Suryani sebelum dunia Arab giat dalam penterjemahan.
Setelah dunia Islam menelan berbagai filsafat Greek, terbagilah cara berpikir cendikiawan Islam menjadi tiga kelompok besar:
Pertama: Kelompok yang sangat fanatik terhadap filsafat Yunani, terutama filsafat Aristoteles. Hingga sampai meletakkan akidah agama dibawah bangunan filsafat ini. Menjadikan filsafat sebagai pondasi dan agama sebagai peng “iya” darinya.
Kedua: Kelompok pembela “terlalu” setia terhadap akidah “muslim”. Mereka sangat memusuhi para pengikut filsafat Aristoteles. Akan tetapi, dalam pembelaan terhadap akidah “Islam”, mereka juga menggunakan filsafat sebagai alat bantunya. Hingga, kesibukan mereka terhadap filsafat, berefek sangat besar terhadap masuknya nadhriyyât al-ilmiyyah dalam ilmu kalam, seperti nadhriyyât “jauhar al-fard”, ini mereka ambil dari filsafat naturalisme Yunani. Bahkan terkadang lebih lebar lagi dalam pembahasannya. Disebabkan penggunaan filsafat itu diarahkan untuk tujuan-tujuan keagamaan mereka, maka harus disesuaikan dengan kebutuhan mereka pula.
Ketiga: Kelompok sufiyyah (dalam eksistensinya sebagai sebuah metode yang berpegang kepada prinsip-prinsip tertentu). Muncul sebagai antitesis dari kedua kelompok yang telah muncul terdahulu. Mereka berpendapat bahwa perdebatan filosofis (jadl al-falsafi al-kalâmî), tidak akan pernah bisa mencapai pengetahuan tentang kebenaran. Pengetahuan yang benar hanya bisa dicapai dengan ibadah ‘amaliyyah, kasyf al-bâthinî dan musyâhadah al-mubâsyarah.[17]

Ghazali Diantara Tiga Mainstrem Pemikiran
Pada saat terjadinya pertarungan sengit antara tiga mainstrem pemikiran itu, Ghazali tampil sebagai seorang juri di tengah-tengah pertandingan. Ia berusaha me-nengah-nengahi, antara filosof, mutakallimin, dan para sufi. Ia tidak menundukkan agama dibawah kaidah dan hukum akal secara total. Tidak mendudukkan akal dibawah akidah agama, sedangkan akal hanya berfungsi sebagai penjustifikasi dari dalil-dalil agama yang telah ada. Juga tidak menafikan akal, sebagaimana dilakukan para sufi kala itu. Justru ia malah membuat sebuah metode baru dalam tasawuf, dengan menyeimbangkan antara ilmu dan amal, antara berpikir dan kasyf al-bâthinî secara bersamaan.
Akan tetapi, metode Ghazali dalam penyeimbangan antara ilmu dan amal, antara berpikir dan kasyf al-bâthinî ini, menurut penulis terdapat keganjilan di dalamnya. Kalau kita mengandaikan penggunaan pikiran disertai kasyf al-bâthinî, dikhawatirkan terjadinya kesalahan penafsiran dalam wujud kasyf al-bâthinî-nya. Karena kuatnya berpikir seseorang mampu untuk membuat imajinasi yang menguatkan kedudukan akal. Sehingga entitas kasyf al-bâthinî itu sendiri menjadi tidak orisinil lagi. Seperti seorang yang sering mengingat-ingat akan seseorang yang telah meninggal, mampu mengakibatkan ia bertemu dengan orang tersebut dalam mimpinya. Bahkan saat memuncaknya kerinduan, orang itu bisa terwujud di depan matanya.
Ia tidaklah mengingkari kebenaran ilmiah, baik berhubung dengan kenyataan natural (thabî’iyyah) maupun ilmu pasti (riyâdhiyyah). Akan tetapi, dia hanyalah membatasi akal dalam ke-ikut campuran-nya mengotak-atik akidah agama. Tidak menggunakan secara total, juga tidak membuang semuanya. Menempatkan keduanya dalam posisi yang berlainan; ilmu berpegang kepada akal, sedangkan akidah agama memancar (yanba’u) dari hati. Jadi ada sekulerisasi antara ilmu dan akidah agama. Dengan begitu ia berpendapat bahwa, =hati (al-qalb) tempat keluarnya iman, sedangkan akal adalah pondasi dari ilmu pengetahuan=.[18]
Dari usaha pen-sekuler-an Ghazali terhadap ilmu dan akidah agama. Menurut penulis terdapat hal yang mungkin menjadi penyebab terjadinya hal itu. Diantaranya dengan mengamati perjalanan Ghazali mulai dari muda hingga wafatnya; ia sibuk dalam pencariannya tentang hakikat kebenaran. Mungkin saja, seandainya Ghazali tidak wafat saat itu; ia akan menelurkan ide lain lagi, yang mungkin akan dia anggap sebagai kebenaran yang lebih benar dari kebenaran yang telah di dapatnya. Atau bisa dibilang ia sedang mengalami “evolusi kebenaran”. Karena merasa tidak menemukan titik temu dalam pengkomparasian antara ilmu dan akidah agama, maka dia berkesimpulan bahwa agama dan ilmu haruslah dipisahkan. Antara keyakinan dan pengetahuan berada di tempat yang berbeda.
Setelah mengkaji filsafat-filsafat pendahulunya, Ghazali berkesimpulan bahwa:
A. Terdapat pemikiran yang wajib di kafirkan. Diantaranya pendapat filosofis yang menyatakan bahwa, jasad manusia tidak akan di hidupkan kembali, Allah hanyalah mengetahui hal-hal kulliyyât, tidak mengetahui yang juz’iyyât, alam bersifat dahulu (qadîm).[19] Dalam hal ini, dengan radikalnya Ghazali mengatakan bahwa orang yang berkeyakinan seperti ini, wajib dibunuh;[20]
B. Pemikiran yang wajib dianggap sebagai bid'ah;
C. Pemikiran yang memang benar adanya, tidak boleh di ingkari. Diantaranya ilmu pasti (riyâdhiyyah) dan ilmu logika (mantiq).[21]
Menurutnya terdapat sangat banyak kerancuan dalam filsafat, hingga tidaklah mungkin tercapai kebenaran dengannya. Dapat dilihat, setiap jawaban dari pertanyaan filosofis selalu berbenturan dengan jawaban lainnya. Lalu mana yang benar diantara itu semua ? Benturan antar jawaban sebenarnya disebabkan filsafat itu sendiri hanyalah merupakan ketepatan dalam menyusun strategi, untuk mendudukkan kebenaran dalam posisi filosof itu sendiri.[22]
Sedangkan ilmu yang benar-benar “benar” menurutnya adalah, ilmu yang dengannya kita mampu untuk sampai pada derajat yakin (‘ilmu al-yaqîn). Sedangkan ‘ilmu al-yakîn sendiri adalah, ilmu yang dengannya obyek kajian benar-benar menjadi bisa di mengerti tanpa disertai sedikitpun keraguan, juga tidak disertai oleh kesalahan maupun salah sangka. Sebaliknya setiap ilmu yang tidak sampai derajat ini tidaklah dapat di sebut sebagai ‘ilmu al-yakin. Ilmu seperti ini adalah, ilmu yang tidak bisa dipercaya dan tidak aman untuk dibuat sebagai pegangan.[23]

Akal Dan Syariat Dalam Perspektif Ghazali
Mengawinkan akal dan syariat Tuhan, merupakan hal yang melelahkan. Keterjebakan selalu menganga, sedikit lengah akan terjerumus dalam jurang ke-totaliter-an. Dalam perspektif Ghazali, akal dan syariat, selamanya akan saling bergandeng tangan, tidak akan pernah saling menjatuhkan. Bagaikan lampu dan minyak (tenaga lampu). Tanpa akal, syariat tidak akan bisa di pahami artinya. Begitu juga akal, apabila tanpa syariat maka akan semakin jauh dari kebenaran. Jadi, mutlak adanya keselarasan dua sisi. Karena, eksistensi dari syariat itu sendiri sebenarnya merupakan akal luar (‘aql al-khârij), apabila akal luar dan akal dalam bersatu, itulah manifestasi dari "nûr ‘ala nûr".
Sebenarnya, kedudukan akal itu sendiri tetap akan sering membutuhkan tuntunan syariat untuk dapat mencerap kebenaran sejati. Karena batas kemampuan akal hanyalah sampai untuk mencerap kebenaran universal saja, tanpa kemampuan mencerap kebenaran partikular. Ringkasnya, =akal tidak akan pernah bisa berfungsi sebagai pencerap kebenaran partikular dalam syariat. Sedangkan syariat terkadang datang untuk menetapkan kebenaran yang sebenarnya akal sendiri telah mampu untuk mencerap kebenarannya=.[24]
Hampir di setiap bidang ilmu yang dikaji Ghazali, selalu berada dalam koridor pembahasan syariat dan agama. Terlihat, tujuan utamanya memang untuk menyelamatkan agama dari pemikiran-pemikiran "hitam" masa itu. Dapat diambil kesimpulan; ideologi Ghazali dalam pengkorelasian antara akal dan agama adalah =akal hanya menempati posisi sebagai pembantu dalam pemahaman agama, dan bukan sebaliknya=, alias syariat tidak perduli akan kegelisahan akal.
Padahal akal, menurut penulis; adalah yang paling utama dalam pembahasan tentang syariat. Justru syariat yang telah ada hanyalah sebagai pembantu dalam usaha pencapaian terhadap kebenaran. Karena bagaimanapun juga, Tuhan menunjuk manusia di muka bumi ini pasti telah disertai modal kemampuan untuk merealisasikan tugasnya.[25] Syariat diturunkan hanyalah sebagai contoh (i’tibâr) di saat carut-marutnya pemahaman (pola pikir) tentang kebenaran. Mudahnya, =syariat dimungkinkan pembekuannya di saat kemaslahatan menghendaki kenyataan lain, dan tetap dipakai di saat kenyataan yang ada sesuai dengan jawaban dalam syariat=.
Ghazali menyatakan bahwa bukan hanya akal, yang dibatasi kemampuannya dalam mencerap kebenaran sejati. Panca indera pun sering tertipu oleh apa yang telah dicerapnya. Cerapan panca indera belum tentu benar adanya. Seperti saat kita memandang bintang dilangit, kita melihatnya sebagai benda yang sangat kecil, yang tidak lebih besar dari kepingan logam uang. Akan tetapi, kemudian ilmu astronomi membuktikan kepada kita bahwa bintang-bintang itu sangat besar, lebih besar dari bumi yang kita tempati ini. Contoh kesalahan dari cerapan akal adalah; saat tidur kita bermimpi, saat itu kita meyakini bahwa apa yang kita lihat dalam mimpi itu adalah suatu kebenaran, akan tetapi kemudian kebenaran itu sirna disaat kita terbangun dari tidur.[26]
Oleh karena itu, dalam mencerap kebenaran, menurut Ghazali dibutuhkan timbangan yang ia sebut sebagai "Qisthâs al-Mustaqîm". Adalah lima timbangan yang telah diberikan Alah kepada manusia melalui kitabnya, dan telah diajarkan kepada para Nabi. Tetap menurutnya, bahwa barang siapa beramal dengan mizân ini, maka ia akan mendapat petunjuk. Hingga dapat mencapai kebenaran yang hakiki. Tapi, barang siapa lebih mengunggulkan pendapat akalnya, maka ia akan tersesat dan jauh dari kebenaran. Qisthâs al-Mustaqîm yang di klaim Ghazali sebagai manhaj-nya itu tertera dalam al-Qur'an Surat al-Rahman: 1-4 dan 7-9, Surat al-Hadid: 25.
Mizân ini, sebagaimana diungkapkannya dalam buku “al-Mustashfâ” adalah qiyâs al-ilmy atau burhâny, akan tetapi dia tidak menggunakan lafadz qiyâs dalam mengistilahkan mizân ini. Karena qiyâs dalam pemakaiannya secara umum telah kehilangan dalil-dalil ilmiahnya. Sebagaimana qiyâs yang di gunakan para mutakallimin dalam membahas masalah fikih. Mereka cenderung menggunakan dalil-dalil dhanny, dengan berdasar persangkaan pikiran akan suatu kebenaran. Qiyâs seperti ini dalam pandangannya tidak selamat untuk digunakan membahas suatu permasalahan, karena hanya akan mendapatkan hasil yang dhanny pula.
Mizân ini tidak hanya bisa di gunakan sebagai timbangan dalam hal-hal yang berhubungan dengan olah pikir saja. Bahkan lebih jauh, menurutnya dapat digunakan pada hampir semua cabang keilmuan, seperti ilmu pasti, dan kedokteran. Akan tetapi, tidak dapat diterapkan pada hukum wadh'i .[27]

Sebab Akibat Dalam Perspektif Ghazali
Pergumulan manusia dalam mengarungi hidup, akan selalu berhadapan dengan berbagai kejadian. Semua kejadian di alam ini, layaknya pemahaman konvensional; tentunya tersusun dari berbagai premis-premis kejadian yang teratur, ada akibat, tentunya ada sebab yang melatarbelakanginya. Akan tetapi, pemahaman konvensional ini, menurut Ghazali sama sekali tidak benar. Menurutnya, hukum sebab-akibat itu tidak ada, dengan uraian bahwa terjadinya sesuatu itu tanpa perlunya suatu sebab.
Sebagaimana khawâriq al-‘âdah yang dialami oleh Ibrahim As. Beliau tidak terbakar api. Kejadian ini menurutnya disebabkan, esensi api itu sendiri sebenarnya hanyalah benda mati, yang tidak bisa melakukan sesuatu. Eksistensi api dalam kemampuannya membakar, hingga membuatnya menjadi sesuatu yang berakibat adalah karena kehendak Dzat yang menjalankan api itu, yakni Allah. Apabila kemampuan membakar dari api itu dicabut oleh-Nya, maka api itu tidak akan mampu membakar apapun. Jadi, suatu keadaan yang biasanya suatu hal menjadikan terjadinya keadaan tertentu, tidaklah menunjukkan atas akan terjadinya sesuatu. Sedangkan untuk kejadian yang mengakibatkan kejadian lain dalam kenyataan sehari-hari Ghazali lebih setuju untuk menyebutnya sebagai “âdah” atau kebiasaan.[28]
Pendapat ini senada dengan David Hume,[29] seorang pemikir pada abad ke 18 M. Dia juga berpendapat bahwa, teori sebab akibat adalah teori yang belum cukup untuk membuktikan bahwa, kejadian pertama menjadi ‘illah bagi terjadinya kejadian kedua.[30]
Akan tetapi, pendapat seperti ini ditolak keras oleh Ibnu Rusyd (w. 595). Menurutnya, orang yang mengingkari adanya teori sebab-akibat berarti menyingkirkan akal, yang berarti juga memusnahkan ilmu. Kalau memang runtutan kejadian yang terjadi di alam ini lebih patut untuk disebut ‘âdah; yang menurut Ghazali lain dengan sebab-akibat. Maka, adanya Allah pencipta alam raya ini juga ‘âdah. Justru hal itu mustahil, karena ‘âdah adalah suatu kejadian yang adanya karena dikerjakan secara berulang-ulang.[31]
Dalam kacamata penulis, penafian Ghazali terhadap realitas sebab-akibat adalah lebih disebabkan oleh konsep awal dalam pemahamannya terhadap diskursus “takdir”. Kenyataan ini, tentunya juga sangat menentukan perkembangan arah berpikirnya. Sebagaimana dipahami oleh banyak sejarawan bahwa, dalam Ushuluddin ia lebih dekat kepada Asy’ariyyah daripada yang lain. Tersirat dalam buku “Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah”-nya Asy’ari bahwa kejadian yang ada di dunia ini semuanya telah di tentukan oleh Allah dari semulanya, jadi tidak ada kemampuan manusia untuk mengotak-atik nasibnya sendiri; manusia hanyalah wayang yang di jalankan oleh dalang.[32]

Tuhan, Manusia, Dan Kenabian
Pertanyaan yang akan sering di dengar, saat kita mulai menginjak dunia para filosof adalah; Siapa pencipta alam ? Siapa itu Tuhan? Apakah Tuhan ada ? Dapatkah Tuhan dibuktikan ? Untuk menjawab pertanyaan ini, Ghazali telah menyediakan metode yang mampu untuk membuktikan adanya Tuhan.
Menurut Ghazali, jauhar al-insân pada saat ketitahnya tercipta sebagai individu yang sama sekali tidak dibekali pengetahuan tentang Tuhan. Untuk bisa mengetahuinya, manusia diharuskan untuk mempelajari alam ini dengan daya pemahaman (idrâk), yang telah di berikan oleh Allah kepadanya. Terdapat empat tingkatan idrak dalam pandangan Ghazali;
Pertama: Kemampuan untuk mengindera alam inderawi ini (tingkatan terendah). Kedua: Kemampuan untuk membedakan diantara hal-hal yang telah di cerap oleh indera manusia. Ketiga: Akal, dengannya manusia mampu membedakan antara perkara wajib, mungkin, ataupun mustahil. Keempat: Tertinggi, adalah apa yang ada dibalik kekuatan akal. Yaitu kemampuan untuk mencerap hal-hal ghaib, dan apa yang akan terjadi pada masa mendatang. Kemampuan ini, merupakan pengetahuan para Nabi.[33]
Pengetahuan manusia tidak sempurna tanpa sempurnanya keempat macam idrâk ini. Untuk dapat mencerap kebenaran sejati, kemampuan manusia tidaklah cukup, karena hanya sampai pada tingkatan ketiga. Sedangkan idrâk keempat hanyalah diberikan kepada para Nabi. Manusia hanya dapat mengetahuinya dari keterangan yang telah diberikan oleh para Nabi. Sebab, risalah dan kenabian bukanlah suatu hal yang bisa dicapai dengan usaha, itu adalah pemberian langsung dari Allah Swt. Walaupun sebelum menjadi Nabi, sang Nabi-pun telah mempunyai kesiapan dalam dirinya untuk mendapatkan "cahaya" kenabian.[34]
Mudahnya, derajat kenabian merupakan derajat yang lebih tinggi dari derajat manusia umumnya. Sebagaimana "ke-manusia-an" itu sendiri merupakan derajat yang lebih tinggi dari golongan hewan. Atau bisa dikatakan, manusia diistimewakan dari hewan lainnya, dengan mu'jizat kemampuan manusia dalam berbicara, berpikir, dan menguasai hewan-hewan lainnya. Sedangkan Nabi diistimewakan dari manusia lainnya dengan mu'jizat kemampuan Nabi diatas manusia lainnya. Semua itu, menurut ketetapan Allah, sehingga tidak mungkin bisa di usahakan.[35]
Berbeda dengan Ghazali, Ibnu Sab’in berpendapat bahwa kenabian adalah hal yang bisa diusahakan. Karena, kenabian merupakan faidh (jawa: luberan) daripada akal disaat akal itu telah sampai pada titik bersihnya. Bahkan ia pernah berkata: “Ibnu Aminah (Muhammad Saw.) telah membekukan hal yang sebenarnya masih mungkin terjadi, dengan perkataannya: tidak ada Nabi setelahku”.[36]

Takwil Menurut Ghazali
Sering terjadi pengkafiran antar umat Islam sendiri, gara-gara permasalahan takwil. Pengkafiran seperti ini, terjadi pula pada masa kehidupan Ghazali. Golongan Hanabilah mengkafirkan Asy’ariah, Asy’ariah mengkafirkan Mu’tazilah. Lalu, sebenarnya golongan manakah yang kafir ? Dalam hal ini, Ghazali cenderung tidak berpendapat. Ia hanya memberikan metode dan syarat-syarat dalam pentakwilan. Dengan demikian, ia cenderung setuju untuk di perbolehkannya mentakwili ayat-ayat al-Qur’an ataupun hadits Nabi Saw.
Menurut Ghazali, semua yang telah diturunkan Allah dalam al-Qur'an, dan apa yang telah disabdakan oleh Nabi Saw. Pasti ada maknanya. Walaupun, terkadang makna dari suatu ayat atau hadits, baru bisa didapat setelah ditakwili. Dalam hal pentakwilan ini, banyak sekali perbedaan pendapat diantara para ulama. Sehingga, menyebabkan perbedaan arti pula. Untuk itu, Ghazali berusaha menyarikan arti dari suatu wujud dengan membuat tingkatan dalam wujud sesuatu. Yang kemudian, disesuaikan dengan obyek yang akan ditakwili. Ghazali membagi wujud dalam lima tingkatan:
Pertama: Wujud Dzâty. Merupakan wujud hakiki, yang terletak diluar penginderaan maupun akal. Akan tetapi panca indera dan akal, mampu untuk menggambarkannya, yang kemudian disebut "cerapan" (jawa; penemu). Seperti wujud langit, bumi, hewan, dan tumbuhan.
Kedua: Wujud Hissy. Adalah wujud yang merupakan hasil dari cerapan panca indera. Akan tetapi hanya panca indera saja, tanpa adanya ikut campur dari lainnya. Seperti melihatnya orang yang sedang tidur (mimpi)
Ketiga: Wujud Khayâly. Adalah perwujudan bentuk obyek dalam bayangan, dengan tanpa unsur penginderaan. Seperti seorang yang memejamkan matanya, kemudian membayangkan gajah dalam bentuknya yang sempurna.
Keempat: Wujud 'Aqly. Adalah, apabila sesuatu itu mempunyai esensi, hakikat, dan makna. Kemudian, akal mampu mengambil darinya eksistensi dari obyek tersebut, tanpa harus mewujudkan obyek tersebut dalam bentuk khayalan maupun dengan bantuan penginderaan, ataupun unsur-unsur eksternal darinya. Seperti pena, wujud aqliyyah-nya adalah kemampuan pena untuk di gunakan menulis.
Kelima: Wujud Syubhy. Adalah, apabila suatu obyek itu ada tanpa bentuknya maupun hakikatnya, tidak dalam unsur-unsur eksternal, tidak karena penginderaan, tidak dalam khayalan maupun akal. Seperti perwujudan kemarahan Allah Swt.[37]
Sedangkan untuk syarat-syarat takwilnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Ghazali; berawal dari apabila tidak dimungkinkan pemaknaan dhahir al-nash sebagai mana adanya (wujud dzâty), maka beranjak dengan pemaknaan menurut penginderaan (wujud hissy). Apabila tidak dimungkinkan, maka dimaknai secara khayâly atapun aqly. Apabila tetap tidak mungkin, maka menggunakan majaz (syubhy). Akan tetapi usaha pentakwilan dari pertama hingga akhir haruslah berurutan.[38]

Ghazali Dan Tasawuf
“Si Penghancur Filsafat” adalah salah satu diantara julukan Ghazali.[39] Para sufi menganggapnya sebagai “Hujjah al-Islâm”, dikarenakan jasanya yang besar dalam khasanah tasawuf. Karya-karyanya dalam bidang ini sangat banyak. Diantara buku terpentingnya adalah “Ihyâ’ Ulûm al-Dîn”. Akan tetapi, orang yang tidak sependapat dengan isi buku ini menyebutnya sebagai “Imâtah Ulûm al-Dîn”.
Terdapat perbedaan antara Ghazali dan ulama sufi kebanyakan.[40] Setelah bertahun-tahun dalam perjalanan keilmuan, ia mengalami banyak hal yang menimbulkan keraguan pada dirinya untuk mengetahui kebenaran hakiki. Kemudian ia berkesimpulan, bahwa ilmu-ilmu yang ia dapat adalah ilmu yang diwariskan secara turun-menurun tanpa ia koreksi kebenarannya. Saat itu, dalam memahami ilmu ia memang cenderung taklid, kepada ulama sebelumnya. Hingga akhirnya, ia berkeputusan untuk tidak taklid lagi. Ia kembalikan dirinya ke fithrah aslinya; tanpa keberpihakan. Karena kebenaran, tidak akan didapatkan dengan cara taklid. Kebenaran hanya akan didapatkan, melaui proses keraguan dengan meragukan segala pengetahuan yang pernah di dapat. Sebagimana yang ia katakan, “Siapa yang tidak pernah ragu, maka tidak akan pernah mencoba untuk mengamati. Siapa yang tidak pernah mencoba mengamati, maka ia tidak akan pernah tahu. Siapa yang tidak tahu, maka akan tetap dalam kebutaan dan kesesatan”.[41]
Ghazali adalah salah seorang diantara guru besar para sufi. Tapi kenapa yang ia bantai dalam sejarah pembantaian keilmuan bukan hanya filsafat saja, bahkan melebar sampai ke tasawuf ? Pertanyaan ini dijawab oleh Prof. Macdonald; dikarenakan, sekte-sekte tasawuf yang ada pada saat itu, dianggap sebagai suatu jalan menuju Tuhan yang keluar dari aturan syariat. Dapat dilihat dari pengajaran Ghazali tentang tasawuf kepada murid-muridnya, selalu disesuaikan dengan aturan syariat. Hingga kaum sufi sepeninggal Ghazali, mendapatkan tempat yang tinggi diantara muslim Sunny. Bahkan, hampir semua aliran dalam Islam.[42]
Selain sebagai seorang konseptor dalam teori-teori tasawuf, Ghazali juga seorang praktisi. Ini terlihat dari apa yang dikerjakannya semasa ‘uzlah. Selama sepuluh tahun, ia bolak-balik antara bait al-muqaddas dan haji di baitullah. Kemudian i'tikaf di masjid Umawi yang berada di Damaskus. Disitu, ia menulis bukunya “Ihyâ’ Ulûm al-Dîn”, yang terbilang sebagai referensi penting dalam ilmu tasawuf.
Menurut Mahmud al-Marakibi; disaat Ghazali melakukan ‘uzlah, hal yang paling mengherankan darinya adalah, mengapa ia tidak menyibukkan diri dengan urusan umat Islam (!). Sedangkan saat itu, umat Islam sedang sibuk-sibuknya menahan serangan pasukan salib, hingga akhirnya bait al-muqaddas terlepas dari umat Islam, jatuh ke tangan pasukan salib (492 H). Justru di pengasingannya ia asik mengarang Ihyâ’ Ulûm al-Dîn meninggalkan Daulah al-Dîn. Yang lebih mengherankan lagi, Ghazali sama sekali tidak menulis buku tentang jihad serta pahalanya, juga keutamaan para mujahiddin dan kedudukannya dalam agama.
Apakah tidak mengherankan (!), Ghazali adalah seorang Hujjah al-Islâm. Setelah bait al-muqaddas jatuh ketangan pasukan salib, ia hidup selama 12 tahun. Dan selama itu, ia sama sekali tidak menyinggung-nyinggung kejadian itu dalam bukunya.[43] Apa yang dilakukannya itu bertentangan dengan apa yang telah di tulisnya dalam penjelasannya tentang sufi. Karena, menurut Ghazali seorang sufi itu harus mempunyai dua karakter: Pertama; Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah. Kedua; Berbuat baik kepada manusia. Tidak mementingkan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Akan tetapi, mengorbankan diri sendiri untuk orang lain, selama tidak bertentangan dengan syariat.[44]
Satu hal lagi yang sangat di soroti Marakibi adalah, olehnya membagi ilmu ke dalam dua bagian; lmu dhahir dan ilmu batin .[45] Walaupun ia menjelaskan bahwa antara dhahir dan batin selamanya siiring setujuan.[46] Tetap saja pembagian itu berbahaya, karena mampu menyebabkan perkembangan kearah fana', baqa', hulûl, dan akhirnya wihdah al-wujud (jawa; manunggaling kawula kalawan gusti).[47]
Menurut Ghazali, makna ilmu dalam koridor kemampuannya menuntun manusia kejalan mukâsyafah, dibagi menjadi dua : Pertama; Ilmu ‘amaly, yaitu ilmu yang berhubungan dengan tata cara dalam melakukan suatu perbuatan. Kedua; Ilmu nadhary, seperti pengetahuan tentang keadaan jiwa, pada hal-hal keakhiratan.[48]
Ghazali menganggap bahwa ilmu tharîq al-sulûk, atau ilmu untuk ma’rifah kepada Allah sebagai ilmu tertinggi dari ilmu lainnya. Dikarenakan, ilmu lainnya seperti fikih dan kalam, hanyalah alat untuk sulûk. Ilmu-ilmu itu mengarah kepadanya. sedangkan ilmu tharîq al-sulûk tidak mengarah kepada yang lainnya. Secara otomatis, posisi ilmu tharîq sulûk berada di titik puncak perjalanan keilmuan.[49]
Setiap orang pasti mempunyai syahwat. Syahwat ini sering-sering menimbulkan malapetaka, jika empunya syahwat tidak bisa mengontrol dan mengalokasikannya dengan baik. Dalam pandangan Ghazali, syahwat tidak selamanya jelek. Asal sesuai dengan kedudukan masing-masing, maka syahwat itu sah-sah saja. Orang-orang yang ‘ârif billah pun mempunyai syahwat, yakni syahwat untuk ma’rifatullah. Syahwat ini tidak beda dengan syahwat anak kecil untuk bermain, syahwat orang akan kedudukan. Akan tetapi, syahwat seorang yang ‘ârif billah, tidaklah seperti syahwat lainnya. Karena, makin dekat seseorang kepada Allah, akan semakin bertambah pula rasa syahwat itu, bukannya malah berkurang. Berbeda dengan syahwat lainnya.[50]
Dalam ajaran Ghazali tentang ilmu tasawuf, terdapat beberapa hal yang menurut Abu Bakar Ibnu al-‘Arabi (bedakan dengan Ibnu ‘Arabi), muridnya sendiri; sebagai tharîq al-sulûk yang keluar dari aturan syariat diantaranya dalam diskursus al-kasyf. Itu disebabkan, karena Ghazali pernah masuk dalam dunia para filosof, kemudian ia berusaha untuk keluar darinya, akan tetapi tidak mampu. Sehingga hal itu ber-atsar terhadap teori-teori tasawuf yang ia kembangkan.[51]

Kejeniusan Ghazali
Kejeniusan Ghazali diakui dunia. Ia dianggap sebagai seorang yang telah berhasil membuat madhab istimewa, karena kemampuannya mengkompilasikan agama, akhlaq, filsafat, dan ilmu jiwa dalam satu wadah.[52] Sebagaimana di ungkapkan seorang pemikir berkebangsaan Perancis, E. Renan dalam “Histoire g enerale et systeme compare des langues Semitiques” bahwa "Ghazali adalah salah seorang diantara para filosof muslim yang mampu membangun aliran khusus dalam pemikiran filsafat". Sedemikian besarkah penghormatan Renan, yang nota-benenya dia pula orang yang pernah berkata “filsafat Arab tidak lain, tidak bukan, hanyalah filasafat Yunani kuno yang ditulis dengan huruf Arab (?)”.[53]
Pergulatan Ghazali dengan berbagai macam keilmuan, turut serta mengambil saham dalam pembentukan madhab khusus yang ia dirikan. Walaupun dalam pengaturan porsinya, kentara bahwa tasawuf berada di tempat paling utama.[54] Ia gunakan pula ilmu logika yang sejalur dengan cara berpikirnya, ilmu logika itu “sedikit dipaksa” untuk menterjemahkan pemahaman-pemahaman tentang keagamaan. Penggunaan ilmu logika dalam membedah permasalahan agama ini sangat terlihat di pelbagai bukunya. Walaupun terkadang ia harus membingkai logikanya dalam frame agama; dikarenakan umat Islam saat itu menganggap orang yang berbicara tentang logika sebagai seorang filosof.[55]
Tidak mengherankan jika ia mendapat kehormatan sebesar itu, sebab kalau kita amati, diantara pendapat Ghazali terdapat pendapat yang sangat mirip dengan pendapat filosof setelahnya, yang hidup di Eropa pada masa renaisance. Hal ini membuktikan bahwa ia selangkah lebih maju dari filosof lainnya. Diantaranya Dekaart (Descartes), seorang filosof Perancis pada abad ke-17 M, Deekart ini membangun filsafatnya atas asas yang juga pernah dibangun oleh Ghazali,[56] yaitu; meragukan panca indra dan akal, untuk mencapai kebenaran sejati.[57] Atau, meragukan segala sesuatu untuk mendapatkan keyakinan yang sejati.[58] Bisa juga dengan menolak segala keyakinan untuk mendapatkan keyakinan yang benar.[59]
Hal lain yang menunjukkan atas keluasan ilmunya ialah, retorika yang ia pakai dalam membuktikan kebenaran adanya pencipta alam raya dengan segala kekuasaannya, tidak terbatas pada hal-hal disekitar filsafat. Bahkan lebih jauh, dengan menunjukkan pelbagai macam keajaiban alam, yang penuh dengan hikmah-hikmah sains. Walaupun dalam percontohannya terbatas pada hal-hal yang sesuai dengan perkembangan sains masa itu.[60]
Metode ini pula yang telah di pakai oleh Harun Yahya dalam usahanya memberantas berkembangnya “Teori Evolusi”.[61] Akan tetapi, metode seperti ini dikhawatirkan penggunaannya. Sebab, fakta-fakta yang telah didapat terkadang dapat terhapus oleh fakta yang datang pada masa yang akan datang.

Buah Tangan Sang Imam
Ghazali terkenal sebagai seorang penulis yang handal, buah karyanya sangat banyak, melingkupi berbagai cabang keilmuan, fikih, kalam, filsafat, tasawuf, hikmah, bahkan psikologi pun tidak ketinggalan. Menurut Ahmad Syamsuddin, buku yang ditulis Ghazali lebih dari 200 buah, walau diantaranya terdapat buku yang diragukan akan penisbatan buku itu terhadapnya. Diantara buku-bukunya yang terpenting adalah al-Munqidh Min al-Dhalâl, Ihyâ Ulûm al-Dîn, Maqâsid al-Falâsifah , Tahâfut al-Falâsifah, dan Mi'yâr al-Ilmi.[62]
Kalau kita simak setia inci dari tulisan Ghazali, kita akan temukan bahwa dalam tulisannya tersirat emosinya sebagai seorang pencari kebenaran. Tulisan yang penuh ruh, menggambarkan perasaan hatinya saat menulis buku-buku itu; hal yang jarang dipunyai oleh penulis-penulis lain. Tulisan yang bukan cuma berisi retorika penyampaian belaka, akan tetapi benar-benar penuh dengan gejolak hati yang menguasainya saat itu.
Para pengkaji yang membuka buku-buku Ghazali tanpa mengetahui terlebih dahulu fase-fase penulisan bukunya, hampir bisa dipastikan akan kebingungan dalam menyerap epistem-epistem yang dihasilkannya. Bahkan mungkin akan menganggap Ghazali sebagai seorang pemikir yang plin-plan. Hal itu disebabkan perubahan idealime yang Ghazali pegang selalu beriring dengan pergulatan dalam kehidupan yang ia alami. Metode berpikirnya sering mengalami perubahan, hasil dari serapan-serapan baru dari dinamika pengetahuan dan pengalamannya. Maka sangat perlu untuk mengetahui fase-fase penulisan buku-buku utamanya.
Pertama: (dari 478-484 H) bukunya "al-Wajîz".
Kedua: (dari 484-488 H) bukunya "al-Maqâshid al-Falâsifah, al-Tahâfut al-Falâsifah, al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, al-Mustadhhiry.
Ketiga: (dari 492-495 H) bukunya "Ihyâ' Ulûm al-Dîn (telah dimulai penulisannya sebelum saat itu), al-Mustashfâ, Kimiya' al-Sa'âdah, Minhaj al-‘Abidîn.
Terakhir: (dari 495-505 H) bukunya "Mi'yâr al-‘Ilmy, Mihak Nadhar, al-Maqshad al-Asnâ, al-Ajwibah al-Muskitah, Mizan al-‘Amal, Jawâhir al-Qur'ân, al-Misykat al-Anwâr, Qisthas al-Mustaqîm, Iljâm al-‘Awâm, Faishal al-Tafriqah, al-Munqid min al-Dhalâl, al-Risâlah al-Laduniyyah.[63]

Penutup
Pengetahuan serta pengalaman setiap manusia akan mempengaruhi perjalanan hidupnya. Mungkin ke arah yang lebih baik, ataupun justru kearah yang lebih buruk. Usaha mendaya-upayakan pembacaan terhadap pengalaman, adalah sebuah usaha yang sangat sulit. Keberhasilan darinya akan membentuk sebuah perkembangan sangat besar bagi orang yang melakukannya.
Begitu pun Ghazali, beriring ilmu yang ia dapati, pengalaman hidupnya selalu berpengaruh dalam kemajuan cara berpikirnya. Keberhasilannya dalam membaca kehidupan, sangat mewarnai cara berpikir, mendarah daging menggolakkan emosinya untuk sebuah pencarian dengan pengorbanan yang cukup besar.
Ghazali sosok yang sangat perlu untuk dijadikan sebagai suri-tauladan, dalam keberhasilannya mengolah emosi menjadi suatu keinginan untuk terus mencari apa yang belum di ketahuinya. Bahkan, yang sudah ia ketahui pun ia letakkan kembali untuk kemudian di pahami dengan hati-hati, di analisa dan kemudian ia susun menjadi sebuah rumus khusus, untuk ideologinya yang istimewa.
Telah cukup banyak orang mencaci-maki, bahkan mengkafirkan Ghazali karena pemikiran-pemikirannya. Akan tetapi, si pencaci tidak mampu untuk mengalahkan atau paling tidak mengimbangi Ghazali, dalam segala keberhasilannya. Banyak juga yang terlalu memuji Ghazali, hingga si pemuji terkubur oleh rasa bangga terhadapnya, tetap seperti adanya, tetap menjadi seorang yang membebek secara setia terhadap pemikiran-pemikiran yang telah di lontarkan Ghazali.
Dan semoga kita menjadi orang yang bijak...!
Wallâhu A’lam.


END NOTE
 Makalah sederhana ini, pernah dipresentasikan pada perdana acara “Kajian Tokoh” yang diselenggarakan oleh “RAKHMA”.
™ Bakul Tempe Thub Ramli, untuk pemesanan hub. 4112346/0108573397. Mahasiswa al-Azhar Fak. Dirrâsât al-Islâmiyyah wa al-‘Arabiyyah. Fans berat Bastian Tito, pengarang “Wiro Sableng 212”. Jasa beliau tidak akan terlupakan. Komiknya telah menstimulasi penulis untuk terus membaca (?).
[1] Julukan al-Ghazali mungkin diambil dari pekerjaan ayahnya, atau mungkin dari nama desa yang berada dalam wilayah Thus. Lihat, Ali Mu’awwidh & ‘Adil Abdul Maujud, dalam pengantar al-Wajîz fî Fiqhi al-Imâm al-Syâfi’i, Dar al-Arqam, Beirut, cet. I, 1997, hal. 9
[2] Dr. Sulaiman Dunya, dalam pengantar Mîzân al-‘Amal, Dar al-Ma’arif, Kairo, cet. I, 1964, hal. 7
[3] Dr. Sulaiman Dunya, al-Haqîqah fî Nadhri al-Ghazâli, Dar al-Ma’arif, Kairo, cet. II, 1965, hal. 20-21
[4] Dr. Muhammad Luthfi Jum’ah, Târîkhu Falâsifah al-Islâm, ‘Âlam al-Kutub, Kairo, 1999, hal. 67
[5] Dr. Sulaiman Dunya, dalam pengantar Mîzân al-‘Amali, loc. cit.
[6] Ahmad Syamsuddin, dalam pengantar al-Munqidh min al-Dhalâl, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1988, hal. 6-7
[7] Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl,, Ibid. hal. 59
[8] Ibid. hal. 60-61
[9] Abu Hamid al-Ghazali, Faishal al-Tafriqah baina al-Islâm wa al-Zandaqah, ditahkik oleh Hugga Musthafa, Dar al-Nasyr al-Gharbiyyah, Kairo, 1983, hal. 3
[10] Ahmad Syamsuddin, op. cit., hal. 7-8
[11] Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl, op. cit., hal. 25
[12] Dr. Sulaiman dunya, al-Haqîqah fî Nadhri al-Ghazâli, op. cit., hal. 56-57
[13] Muhammad al-Sa’id Muhammad, dalam pengantar Tahâfut al-Falâsifah, Maktabah al-Taufiqiyyah, Kairo, 2003, hal. 10-11
[14] Dr. Sulaiman Dunya, al-Haqîqah fî Nadhri al-Ghazâli, op. cit., hal. 56
[15] Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl, op. cit., hal. 76
[16] Ibid. hal. 15
[17] Ahmad Syamsuddin, op. cit., hal. 3-4
[18] Ibid. hal. 4-5. Bandingkan dengan Dr. Sulaiman Dunya, al-Haqîqah fî Nadhri al-Ghazâli, op. cit., hal. 36-37
[19] Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl, op. cit., hal. 42
[20] Abu Hamid al-Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, op. cit., hal. 218
[21] Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl, op. cit., hal. 38
[22] Abu Hamid al-Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, op. cit., hal. 28
[23] Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl, pengantar dan tahkik oleh Dr. Jamil Shaliba & Dr. Kamil ‘Iyadh, Dar al-Andalus, Beirut, cet. VII, 1967, hal. 25
[24] Abu Hamid al-Ghazali, Ma’ârij al-Quds, Mathba’ah al-Isti’anah, Kairo, hal. 57
[25] Setiap doktrin agama yang terkesan tidak rasional tidaklah mununjukkan akan tidak rasionalnya agama. Hanyalah, akal belum mampu (bukan tidak mampu) untuk memahaminya. Cukup dikatakan, ilmu pengetahuan manusia saat ini belumlah cukup untuk memahami hal itu. Dan seiring perkembangan ilmu pengetahuan, dimungkinkan pemahaman akan hal itu. Seperti peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Saw.
[26] Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, op. cit., hal. 27-28
[27] Abu Hamid al-Ghazali, al-Qisthâs al-Mustaqîm, pengantar dan tahkik oleh Victor Syalhat, Maktabah al-Syarqiyyah, Beirut, cet. II, 1986, hal. 43
[28] Abu Hamid al-Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, op. cit., hal. 168-173
[29] Abdurrahman Badawi membedakan antara pendapat Ghazali dan Hume dalam penafian terhadap sebab-akibat. Ghazali mengingkari ‘illah akan semua kejadian, karena sebenarnya pelaku sejati dari semua kejadian ini adalah Allah. Sedangkan menurut Hume percobaan (tajribah) adalah satu-satunya cara untuk mengetahui sesuatu itu menjadi ‘illah ataupun tidak, dia cenderung untuk berpendapat tidak tahu siapa pelaku sejatinya. Lebih lanjut, lihat Abdurrahman Badawi, dalam Auhâm Haula al-Ghazâlî, hal. 7
[30] Dr. Jamil Shaliba & Dr. Kamil ‘Iyadh dalam pengantar al-Munqidh min al-Dhalâl, Dar al-Andalus, op. cit., hal. 16
[31] Abu al-Walid Muhammad Ibnu Rusyd, Tahâfut al-Tahâfut, diberi pengantar oleh Ahmad Syamsuddin, Dar al-Kutub al-‘Ilmyyah, Beirut, cet. II, 2003, hal. 351-352
[32] Adalah kenyataan yang ironis jika seperti itu. Penulis lebih setuju bahwa nasib manusia ada di tangan manusia itu sendiri. Campur tangan Tuhan dalam peristiwa ke-manusia-an adalah suatu nilai plus bagi manusia yang mengalaminya. Jadi, terdapat kejadian yang mengikuti iradah Tuhan (untuk ini-pun selalu mengikuti kaidah basyariyyah), dan ada kejadian yang bergantung kepada manusia itu sendiri.
[33] Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, op. cit., hal. 67. Bandingkan juga dengan Abu Hamid al-Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, op. cit., hal. 177-178
[34] Abu Hamid al-Ghazali, Ma’ârij al-Quds, op. cit., hal. 107
[35] Ibid., hal. 109
[36] Mahmud al-Marakibi, ‘Aqâid al-Shûfiyyah fî Dhou’i al-Kitâb wa al-Sunnah, Mathba’ah al-Tijariyah, Qalyub, cet. III, 1996, hal. 87
[37] Abu Hamid al-Ghazali, Faishal al-Tafriqah baina al-Islâm wa al-Zandaqah, op. cit.,hal. 8-15
[38] Ibid. hal. 18-19
[39] Julukan ini menurut sebagian pendapat tidaklah sesuai dengan kenyataan. Menurut Abdurrahman Badawi, kejatuhan filsafat Islam tidaklah bisa dibebankan kepada Ghazali, karena jejak–jejak tentang hancurnya filsafat ditangan Ghazali sangat sulit diwujudkan. Badawi telah mengkaji buku-buku yang berkaitan dengan hal itu, akan tetapi tetap saja tidak menemukan bukti yang valid untuk tuduhan tersebut. Lebih lanjut lihat, Abdurrahman Badawi, dalam Auhâm Haula al-Ghazâlî., hal. 1-3
[40] Kalau kita amati dari perkembangan tasawuf yang ada, kebanyakan lebih cenderung ke arah taklid dalam perkembangan ilmunya. Sebagaimana kalimat sufistik yang sudah masyhur, “Murid dihadapan guru, bagaikan mayit dihadapan orang yang memandikannya”. Lebih lanjut, lihat, Lajnah al-Buhuts wa al-Dirrasat bi al-Thariqah al-‘Azmiyyah, al-Shûfiyyah fî ‘Uyûn al-Salafiyyah, Masyikhah al-Thariqah al-‘Azmiyyah, cet. I, 2005, hal. 255
[41] Muhyiddin ‘Azuz, al-Lâ Ma’qûl wa Falsafat al-Ghazâlî, Dar al-‘Arabiyyah li al-Kitab, Libia, 1983, hal. 87. Lihat juga, Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl, Dar al-Andalus, op. cit., hal. 63
[42] Dr. Sulaiman Dunya, al-Haqîqah fî Nadhri al-Ghazâli, op. cit., hal. 52
[43] Mahmud al-Marakibi, op. cit., hal. 245. Bandingkan dengan Muhyiddin ‘Azuz, op. cit., hal. 74
[44] Abu Hamid al-Ghazali, Ayyuhâ al-Walad, Majmu’ah al-Rawai’ al-Insaniyyah, hal. 48
[45] Pembagian ilmu menjadi dhahir dan batin dalam pengajaran tasawuf, disinyalir oleh Marakibi sebagai pencatutan atas kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi (?) Khidhir, Musa sebagai pemilik ilmu dhahir dan Khidhir sebagai pemilik ilmu batin. Lebih lanjut lihat, Mahmud al-Marakibi, Mûsâ wa al-Khidhir, Mathba’ah al-Tijariyah, Qalyub, cet. III, 1996, hal. 46-58
[46] Mahmud al-Marakibi, ‘Aqâid al-Shûfiyyah fî Dhou’i al-Kitâb wa al-Sunnah, op. cit., hal. 246
[47] Ibid. hal. 237-247
[48] Dr. Sulaiman Dunya, al-Haqîqah fî Nadhri al-Ghazâli, op. cit., hal. 42
[49] Abu Hamid al-Ghazali, Jawâhir al-Qur’an, ditahkik oleh Dr. Muhammad Rasyid Ridha al-Qabbany, Dar Ihya’ al-‘Ulum, Beirut, cet. III, 1990, hal. 41-42
[50] Abu Hamid al-Ghazali, Jawâhir al-Qur’an, op. cit., hal. 82-83
[51] Abdul Majid al-Shaghir, Abû Hâmid al-Ghazâlî Dirâsât fî Fikrihî wa ‘Ashrihî wa Ta’tsîrihî, Kulliyyah al-Adab wa al-‘Ulum al-Insaniyyah, Ribath, 1988, hal. 190. Lihat juga, Muhyiddin ‘Azuz, op. cit., hal. 177
[52] Bahkan al-Fâdlil Ibnu ‘Asyur mensinyalir bahwa permulaan filsafat Islam, yang benar-benar hasil karya umat Islam sendiri adalah dimulai sejak masa Ghazali ini. Lihat, Muhyiddin ‘Azuz, Ibid., hal. 60
[53] Ahmad Syamsuddin dalam pengantar al-Munqidh min al-Dhalâl, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah , op. cit., hal. 9
[54] Dr. Jamil Shaliba & Dr. Kamil ‘Iyadh dalam pengantar al-Munqidh min al-Dhalâl, Dar al-Andalus, op. cit., hal. 7
[55] Hal itu dapat terlihat dalam usahanya meyakinkan bahwa Isa as. Itu bukanlah Tuhan, akan tetapi hanyalah seorang Rasul yang diutus kemuka bumi. Metode ini di pakai juga oleh seorang Kristolog asal Afrika Selatan, Ahmad Deedat. Perbedaannya Ghazali lebih banyak menggunakan ilmu logika dan pengetahuan yang ia dapat dari Bibel, sedangkan Deedat mencampurkan keduanya dengan sejarah dan bukti-bukti ilmiah. Bandingkan antara al-Ghazali, al-Rad al-Jamîl li Ilâhiyyati ‘Îsâ, dan Ahmad Deedat, The Choice.
[56] Abdurrahman Badawi memmbedakan antara Ghazali dan Deekart dalam teori tentang keraguan (auhâm). Ghazali memulai keraguan hingga akhirnya mendapatkan keyakinan dengan “cahaya Tuhan” (bi nur qadhafahullah fi al-shadr). Sedangkan Dekaart memulainya dengan meragukan semua pendapat yang pernah di dengar hingga akhirnya mendapatkannya kembali dengan piranti akal. Lebih lanjut lihat, Abdurrahman Badawi, dalam Auhâm Haula al-Ghazal, hal. 3-5
[57] Teori meragukan akal untuk mencapai kebenaran sejati, merupakan antitesis dari teori yang di cetuskan oleh Socrates, kemudian dilanjutkan oleh Plato dan Aristoteles. Yakni; kebenaran sejati dapat dicerap oleh akal, bukan dengan hissy (sensualistis). Lebih lanjut lihat, ‘Iwadhullah Jad Hijazy, al-Mursyîd al-Salîm fî al-Manthiq al-Hadîts wa al-Qadîm, Dar al-Thaba’ah al-Muhammadiyyah, Kairo, cet. IX, 1998, hal. 27-29
[58] Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, op. cit., hal. 25-29. Bandingkan dengan, Abu Hamid al-Ghazali, al-Qisthâs al-Mustaqîm, op. cit., hal. 61 dan 101
[59] Abu Hamid al-Ghazali, al-Qisthâs al-Mustaqîm, op. cit., hal. 41
[60] Baca lebih lanjut, Abu Hamid al-Ghazali, al-Hikmah fî Makhlûqâtillah, ditahkik oleh Dr. Muhammad Rasyid Ridha al-Qabbany, Dar Ihya’ al-‘Ulum, Beirut, cet. I, 1978, hal. 14
[61] Teori ini disabdakan oleh seorang Inggris bernama Charles Robert Darwin pada tahun 1985 M, yang terkenal dengan bukunya The Origin of Species. Lebih lanjut, lihat Harun Yahya, Memahami Allah Melalui Akal, diterjemahkan oleh Muhammad Shasiq, S.Ag, Versi Elektronik.
[62] Ahmad Syamsuddin dalam pengantar al-Munqidh min al-Dhalâl, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, op. cit., hal. 8
[63] Ini adalah catatan yang dibuat Masinion dalam bukunya. Untuk lebih lengkapnya, lihat Abdurrahman Badawi, Muallafât al-Ghazâli, Wakalah al-Mathbu’at, Kuwait, cet. II, 1977, hal. 10-17

Labels:

posted by Admin @ 4:46 PM, ,


Uraian Kritis Terhadap Buku Ta'lim al-Muta'allim

URAIAN KRITIS TERHADAP
BUKU TA’LÎM AL-MUTA’ALLIM*
KARYA : SYEIKH IBRAHIM BIN ISMA’IL AL-ZARNUJI
Oleh : MN. Ary B

Prolog
Berangkat dari sebuah pemahaman akan pentingnya obyektifitas dalam memahami segala hal[1], kami ajak anda untuk menelaah kembali turats-turats kita yang selama ini telah kita pahami sebagai bagian dari doktrin agama yang harus selalu dipertahankan[2]. Dan dengan melihat berbagai kelesuan yang saat ini tengah terjadi di dunia pesantren, kita coba untuk menelisik kembali beberapa hal yang kiranya telah menjadi penyebab terjadinya hal itu.
Kita awali dengan mengamati isu besar, bahwa terjadinya kemunduran di kalangan pesantren khususnya pesantren salaf di sebabkan oleh telah mengakarnya ajaran-ajaran yang terdapat dalam buku “Ta’lîm al-Muta’allim[3]”, apakah tuduhan ini berdasar ataukah tidak ? Mari kita kaji bersama.

Tidak seperti kebiasaan para komentator dalam mengkaji buku ini dengan hanya memaparkan hal-hal yang bersifat global, kami coba untuk mengkajinya justru berawal dari sesuatu yang sangat aplikatif, karena mengaca pada kenyatan bahwa efek yang dihasilkan oleh kitab ini di kalangan pesantren justru tidak hanya pada gambaran-gambaran besar saja, akan tetapi sudah mengakut pada apa yang tertulis pada naskah itu sendiri[4].
Buku “Ta’lîm al-Muta’allim” ditulis oleh seorang ulama pakar pendidikan Islam yang bernama Syeikh Ibrahim bin Isma’il al-Zarnuji. Beliau di perkirakan hidup diakhir abad ke enam hijriyah, sebagian versi menyatakan beliau meninggal pada tahun 591 H, 86 tahun setelah Imam Ghazali.
Syeikh Zarnuji hidup di daerah Zarnuj (Zurnuj), Zarnuj termasuk dalam wilayah Ma Warâ’a al-Nahar (Transoxinia)[5]. Wilayah ini merupakan salah satu basis madzhab Hanafi. Selain madzhab Imam Abu Hanifah itu, di Transoxinia juga berkembang madzhab Syafi’i.

Ada Apa Dengan Buku Ta’lîm al-Muta’allim
Secara singkat keganjilan yang terdapat dalam kitab “Ta’lîm al-Muta’allim” hanyalah terletak pada upaya pengkompilasian antara syariat, moral, dan mitos yang mengakibatkan rancunya poin inti dari metodologi pembelajaran yang diajarkan[6]. Penulis hanya akan memaparkan konsep-konsep yang rancu, disebabkan sudah sama dimaklumi tetap ada konsep yang baik dalam buku ini bagi keberlangsungan suatu pendidikan[7].

Proteksi Berlebihan
Adalah sesuatu yang berlebihan bila kita mengikuti anjuran Syeikh Zarnuji untuk hanya mempelajari ilmu yang ditinggalkan oleh Nabi Saw ,para sahabat, tabiin, serta tabi' tabi’in kepada kita dengan menafikan cabang-cabang ilmu keagamaan yang datang setelahnya, seakan kita tidak mengakui adanya proses sayrurah alam yang telah menjadi sunnatullah tuhan dimana kita tidak ikut berjalan maka kita akan ditinggalkan[8],Dari sini bisa dilihat cara berpikir Syeikh Zarnuji dengan keyakinannya bahwa masa-masa terbaik adalah pada dekade awal Islam, padahal kalau kita coba benar pahami perjalanan Islam selama ini justru akan kita temukan berbagai macam perbaikan yang mengacu pada ilmu-ilmu yang datang setelahnya, dengan tidak menafikan kerusakan yang diakibatkan .
Anjuran Syeikh Zarnuji diatas justru bertentangan dengan hadits Nabi Saw, yang dia kutip di halaman berikutnya : “Hikmah adalah perbendaharaan yang hilang dari orang beriman, dimanapun kalian temukan, ambillah”[9].
Sebagaimana ilmu mantiq dan filsafat, dengannya kita mampu memahami Islam secara rasional bukan hanya pada keyakinan yang tak berdasar pada proses olah pikir, dengan membabi buta mengikuti Al-Qur'an dan Sunnah Rasul Saw tanpa adanya proses telaah dan analisa[10]. Padahal sudah menjadi pemafhuman yang jelas, bahwa suatu keyakinan adalah setelah kita mamahami, sehingga keyakinan menjadi sesuatu yang berarti, karena sesuai dengan logika kemanusiaan dan kejinan. Karena Islam diturunkan ke dunia ini diperuntukkan manusia dan jin maka harus sesuai dengan logika manusia dan jin pula[11]. Allah Swt tidak akan mentaklifi sesuatu jika manusia tidak bisa memahami dan memikulnya[12].
Adapun kehawatiran Syeikh Zarnuji menjauhnya umat dari agama, dan banyaknya pertentangan dalam pemahaman terhadapnya adalah suatu kehawatiran yang kurang berdasar. Karena dengannya Islam menjadi lebih berwarna, hingga umat mampu memilah mana yang terbaik dan sesuai bagi mereka, sesuai dengan hukum universalitas Islam. Islam benar-benar menjadi rahmah li al‑âlamîn[13].
Bagaimanapun juga perbedaan adalah sunnatullah yang tak mungkin bisa dihindari[14]. Bermula dari awal lahirnya Islam pun hal itu sudah tampak dari perbedaan pemahaman para sahabat terhadap sabda-sabda Nabi Saw, seperti dalam kasus "Shalat Ashar di Bani Quraidhah"[15].

Antara Maksiat Dan Belajar
Bisa ditilik dari sikap tidak sukanya Syeikh Zarnuji terhadap ilmu mantiq dan filsafat mengakibatkan rancunya metode kiyas dalam pengkiyasan antara perihal ma’nawî dengan sesuatu yang hakîkî[16]. Hal ini dapat di temukan dalam nasehatnya bagi seorang murid untuk menjauhkan diri dari akhlak yang tercela, karena akhlak yang tercela bagaikan anjing secara ma'nawî, sedangkan Nabi saw pernah bersabda bahwa malaikat tidak akan masuk dalam suatu rumah yang didalamnya terdapat gambar ataupun anjing (dalam hal ini adalah anjing secara hakîkî), dan ilmu masuk kedalam otak manusia dengan lantaran malaikat[17].
Nasihat ini yang kelihatan sepele tapi akan sangat berefek bagi seorang yang sedang belajar, karena bagi seorang yang masih merasa sering melakukan maksiat akan ogah-ogahan dalam belajar. Padahal tidak ada hubungan antara maksiat dan belajar, keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri, belajar berada dalam wilayah metodologi pembelajaran sedangkan maksiat dalam wilayah syariat. Jadi penulis yakinkan bahwa maksiat tidak akan mempengaruhi belajar, kecuali apabila maksiat tersebut memberikan akibat pada saat proses belajar sedang terjadi, seperti seorang pelajar yang terbayang kekasihnya disaat dia sedang belajar[18].

Ta’dhîm Dan Barakah[19]
Terdapat sebuah keterangan dalam kitab ini, dimana seorang murid tidak akan mendapatkan ilmu serta manfaat dari apa yang telah dikajinya kecuali jika selalu dibarengi dengan rasa hormat terhadap ilmu yang sedang dikaji, juga guru yang telah mengajarnya[20]. Bahkan dibumbui anjuran yang bersifat mitos bagi seorang yang menginginkan keturunannya menjadi seorang ‘âlim, untuk menghormati ulama dengan berbagai jalan diantaranya dengan memberikan sesuatu hal yang bermanfaat bagi para ulama[21].
Anjuran tersebut memang tidak ada salahnya, hanya saja dalam metode penyampaiannya sangat membahayakan bagi para pembaca, karena disitu terdapat pencampuradukan antara mitologi dan moralitas. Bagaimanakah seseorang dengan menghormat guru bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat ? Bermanfaat atau tidaknya suatu ilmu itu bergantung kepada si murid itu sendiri, bisa memanfaatkan ilmunya ataukah tidak. Walaupun menghormati guru wajib secara moral.
Bahkan lebih jauh lagi dalam baris-baris setelahnya di jelaskan tentang hal-hal aplikatif yang bisa menyebabkan berkembangnya budaya feodal di dunia pendidikan[22], yang tentu saja budaya ini akan berefek sangat buruk hingga berujung hilangnya budaya kritik di kalangan pesantren[23].
Sebagaimana tersirat dalam teks kitab ini, posisi guru seakan adalah penentu utama bagi keberlangsungan pembelajaran si murid dan masa depannya, mengusung sistem belajar siswa pasif (sebagai ungkapan sulitnya terjadi keaktifan murid) karena guru adalah penentu utama, semua kembali kepada guru, menentang berarti berdapan dengan kuwalat ( lawan ekstrim dari barakah )[24].
Walhasil konsep yang dipaparkan oleh Syeikh Zarnuji terlihat sangat tidak adil (baca: seimbang) karena terkesan lebih sangat mengunggulkan hak guru dalam mengatur murid hingga pada hal-hal yang sangat spesifik, seperti sikap pasrah seorang murid untuk menentukan apa yang seharusnya dipelajarinya. Baik kalau si murid masih berusia muda, lalu kalau sudah dewasa ? Kiranya murid itu sendiri lebih tahu akan tabiat dirinya untuk mengambil apa yang sebaiknya dipelajari[25].
Dari membaca pemahaman konsep Syeikh Zarnuji terhadap hubungan timbal balik antara guru dan murid dapat dilihat sangat sesuai dengan konsep-konsep sebagian Sufi, yang mendudukkan murid seakan mayit dihadapan guru[26], dan sangatlah tidak mengherankan jikalau alasan-alasan yang sering di kemukakan lebih diwarnai oleh mitos-mitos karena memang secara jujur harus kita akui bahwa menjamurnya mitos-mitos sangat banyak berkembang di dunia sufistik[27], dengan tidak menafikan tasawwuf yang logis.
Suatu hal yang terkadang menjadi kesalahpahaman diantara para pelajar dalam memahami suatu istilah disebabkan kerangka pemahaman yang di paparkan dalam kitab Syeikh Zarnuji ini, adalah berubahnya nilai horizontal menjadi sesuatu yang bersifat vertikal di dalam pemahaman terhadap konsep barakah seorang guru, peristiwa manusiawi menjadi perihal yang seakan metafisis, keadaan rasional menjadi tidak rasional lagi, barakah guru seakan sesuatu yang lebih besar daripada proses belajar itu sendiri, hingga terkadang proses belajar di nafikan demi mengejar sesuatu yang bernama "Barakah"[28].
Barakah telah berubah dari makna aslinya, menjadi suatu mitos yang menyesatkan, bagaimanakah mungkin dengan mengabdi kepada guru demi mengharap barakah ilmunya, tanpa sedikitpun diajar ilmu nahwu dapat menjadi seorang yang ahli dalam bidang nahwu ? Omong kosong yang sama sekali tidak rasional.

Perlunya Analisa Sejarah
Satu hal yang sering dilakukan oleh Syeikh Zarnuji untuk memperkuat argumentasinya adalah dengan mengutip kisah-kisah yang di dalamnya terkandung mitos tanpa mengorek sedikitpun apa yang terjadi dibalik terjadinya hal itu, atau dalam bahasa lain terdapat kisah tersembunyi yang tidak berhasil diungkapkan oleh Syeikh Zarnuji. Sebab kisah pada suatu keadaan telah terbumbui oleh mitos yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Karena itu sangatlah perlu kajian filsafat sejarah dalam menguraikan suatu kejadian yang sekiranya tidak masuk akal[29].
Seperti dalam kisah yang diceritakannya tentang dua orang pelajar yang belajar secara bersamaan, seorang berhasil sedangkan seorang lagi gagal, keberhasilah salah satunya di anggap sebagai barakah dari istiqamahnya menghadap kiblat saat belajar[30], tanpa menguraikan hal lain yang lebih logis dalam mengamati terjadinya keberhasilan si murid.
Alasan-alasan tidak logis seperti ini banyak sekali terdapat dalam kitab ini, hal ini amat berbahaya karena bisa berimbas terbaliknya cara berpikir para pelajar, dengan lebih percaya kepada hal-hal yang berbau tahayyul daripada perkara yang logis, berakibat lebih menitikberatkan kepada suatu usaha maya daripada upaya nyata.

Sebab Tak Beralasan
Lebih dari itu, berlepas dari baik buruknya keterangan yang disuguhkan oleh Syeikh Zarnuji acapkali mengandung hal-hal yang berbau khurafat[31].
Seperti keterangannya tentang perkara yang bisa mengakibatkan kefakiran, diantaranya tidur dan buang air dalam keadaan telanjang, makan disaat junub, menyapu rumah waktu malam, berjalan di depan orang yang sudah tua, menyebut kedua orang tua langsung namanya[32], dan masih banyak lagi hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan masalah kaya dan miskin dalam arti secara langsung[33].

Penutup
Sebuah konsep, pada suatu masa, tempat, atau keadaan tertentu mungkin sesuai dengan semangat sosial saat itu, tapi terkadang pada waktu konsep itu diusung ke kebudayaan lain akan terkesan canggung dan merugikan dalam membangun sebuah realitas.
Begitupun buku karangan Syeikh Zarnuji sangatlah perlu untuk dikaji kembali dan kemudian di analisa, apakah sesuai dengan semangat membangun bagi pendidikan di pesantren Indonesia. Karena bagaimanapun juga sebuah konsep akan sangat mempengaruhi hasil dari proses belajar-mengajar tersebut.
Seperti yang penulis paparkan sedari awal, penulis lebih menekankan dalam melihat hal-hal aplikatif dari kitab ini, bukan melulu mengamati kerangka globalnya, karena pengamalan kitab ini di pendidikan pesantren telah mengakar beserta anjuran aplikatifnya dan hampir-hampir menjadi doktrin yang sejajar dengan aturan-aturan baku dalam syariat, sehingga akan sangat membahayakan bagi para pelajar dalam hegemoni cara pikir.
Berangkat dari pengamatan itu, sangatlah wajar jika diantara komentator buku ini, menganjurkan dibuangnya buku ini dari pengajian-pengajian yang ada di pesantren. Bahkan ada yang lebih radikal lagi mengatakan penyebab kemunduran mutu pendidikan pesantren adalah buku Ta’lîm al-Muta’allim.

Makalah ini dipresentasikan dalam Diskusi Dwi Mingguan FORMASI, dengan rujukan utama buku Ta’lîm al-Muta’llim. Cet, Maktabah Muhammad Bin Ahmad Nabhan, Surabaya. Tanpa tanggal terbitan. *
Mahasiswa Al-Azhar, Islamic and Arabic Studies Faculty, Cairo, yang juga Bakul Tempe Cap PATREM ™
[1] Walaupun tidak dimugkinkan adannya obyektifitas sejati, karena setiap obyektifitas selalu berhadapan dengan obyektifitas lain, hingga setiap obyektifitas terbelenggu oleh obyektifitasnya sendiri, dengan semua belenggunya usaha pemaksimalan obyektifitas adalah yang terbaik
[2] Kita disini, kita sebagai bagian dari kaum ortodoksi Islam, dalam lingkup kultur sosial
[3] Sebelum buku ini sebenarnya sudah ada buku lain yang mengajarkan tentang metodologi pendidikan diantaranya al-Targhib Fi al-Ilmi, karya Isma’il al-Muzani (w.264 H), juga Bidâyat al-Hidâyah dan Minhaj al-Muta’allim karya Imam al-Ghazali (w.505 H), akan tetapi Ta’lîm al-Muta’allim cenderung lebih mengakar di pesantren tradisional daripada kitab-kitab yang lain.
[4] Dengan mengamati realita yang terjadi di pesantren-pesantren tradisional, terkadang santri mengikuti secara saklek apa yang tertulis dalam kitab itu. Tidak hanya dengan mengambil pesan moral yang relevan, karena ada sebagian yang sedari awal memang sudah tidak relevan.
[5] Lihat Mu’jam al-Buldân
[6] Dalam pandangan penulis, pemahaman akan syariat dan moral haruslah di pisahkan, karena bisa menyebabkan tumpang tindihnya pemahaman , sehingga mengakibatkan suatu pemahaman yang rancu pula. Apalagi suatu mitos haruslah dijauhkan dari suatu proses pembelajaran yang berakibat siswa didik menjadi terlena dengan mitos-mitos tersebut.
[7] Diantaranya konsep “Niat”, lihat al-Zarnuji, Ta’lîm al-Muta’allim hal.10
[8] Idem. hal.13
[9] Berlepas dari shahih tidaknya hadits ini.
[10] Terkadang diantara kita meyakini kebenaran Al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw, hanya dengan keyakinan yang disandarkan kepada keyakinan itu sendiri, tanpa adanya usaha obyektifitas keilmuan dengan mendudukkan al-Qur’an atau Hadits itu sendiri sebagai sebuah entitas dalam posisi yang dipertanyakan.
[11] Bandingkan dengan QS. al-Baqarah: 44 dan 242, QS. Yusuf : 2, QS. Ali Imran: 65, QS.al-A’raf:169, al-Anbiya’:10, al-Zukhruf: 3.
[12] Bandingkan dengan QS. al-Baqarah: 185, QS. al-Maidah: 6, QS. al-Nisa’:28, QS. al-Haj: 78. Juga HR.Bukhari dan Muslim, lihat Lu’lu’ Wa al-Marjân: 1130 dan 1131.
[13] Tujuan diutusnya Nabi Muhammad Saw kemuka bumi ini adalah menyebarkan syariat Islam, hingga bisa menjadi rahmah bagi sekalian alam. Lihat QS. al-Anbiya’:107.
[14] Walaupun terkadang para pengkaji sering menggunakan hadits dhaif dalam menjustifikasi permasalahan ini, yakni hadits “Ikhtilâfu ummatî rahmah”, lihat Faidh al-Qadîr: 288 dan al-Ahâdîts al-Dha’îfah: 58, akan tetapi perbedaan tetap adalah sunnatullah yang tidak mungkin bisa dihindari.
[15] Lihat Shahih Bukhari, Kitâb al-Jam’ah: 894, juga Kitâb al-Maghâzi: 3810.
[16] Dalam pengkiyasan harus ada keseimbangan dua arah, baik dari segi bentuk maupun esensi, sehingga tercapai kiyas yang salim. Bandingkan dengan, ‘Iwadhullah Jad Hijazi, al-Mursyîd al-Salîm Fi al-Manthiq al-Hadits Wa al-Qadîm ( Kairo: Dâr al-Thibâ’ah al-Muhammadyyah, 1998 ) hal. 189-190
[17] Al-Zarnuji.op.cit., hal. 20
[18] Efek dari maksiat terhadap belajar tidaklah secara langsung, dalam arti pancaran dari kemurkaan tuhan, akan tetapi hanyalah bersifat atsarî
[19] Barakah dalam perspektif kami adalah bertambahnya suatu kebaikan secara realistis bukan secara supernatural. Bandingkan dengan Muhammad Bin Jurair al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân Fî Ta’wîl al-Qur’an ( Kairo: Maktabah Taufîqiyyah ) Jilid 9, hal. 94. Juga al-‘Allâmah Ibnu Mandhur, Lisân al-‘Arab ( Kairo: Dâr al-Hadîts ) Juz. 1 hal. 398
[20] Al-Zarnuji, op.cit., hal. 16
[21]Al-Zarnuji op.cit., hal. 17
[22] Seperti memulyakan putra sang guru secara berlebihan, op.cit, hal. 17-18
[23] Sebagaimana diungkapkan oleh DR. Said Aqil Siradj kepada Gatra pada tahun 1996, bahwa yang menyebabkan kejumudan dan tak adanya budaya kritik di pesantren adalah kitab Ta’lîm al-Muta’allim
[24] Al-Zarnuji op.cit., hal. 16-20
[25] Al-Zarnuji op.cit., hal. 19
[26] Lihat. Silsilah al-Kutub al-‘Azmiyyah, al-Shûfiyyah Fî ‘Uyûn Salafiyyah ( Lajnah al-Buhûts Wa al-Dirâsât Bi al-Thariqah al-‘Azmiyyah, 2005 ) hal. 255
[27] Bandingkan dengan, Abi al-Faraj Bin al-Jauzî al-Baghdâdî, Talbîs Iblîs ( Mashurah: Maktabah al-Îmân ) hal. 401
[28] Observasi terhadap banyak kejadian yang ada di pesantren.
[29] Lihat, Abdurrahman Bin Khaldun, Muqaddimah (Kairo: Dâr al-Fajr Li al-Turâts, 2004 ) hal. 21
[30] Al-Zarnuji, op.cit., hal. 40
[31] Terpaksa kami menggunakan terma ini, dikarenakan tidak ada terma lain yang lebih sesuai.
[32] Al-Zarnuji op.cit., hal. 43-44
[33] Walaupun dalam hal ini al-Zarnuji menyandarkan uraiannya kepada para sahabat Nabi Saw, akan tetapi belum di uji secara historis maupun kebenaran esensi pendapat ini.

Labels:

posted by Admin @ 4:46 PM, ,


Resensi Fikih Taysir Qardhawi

FIQH AL-TAYSÎR
DALAM BUKU TAYSIR AL-FIQH LI AL- MUSLIM AL-MU’ASHIR*
KARYA DR.YUSUF QARDHAWI
Oleh : MN. Ary B**



PENDAHULUAN
Islam bukanlah agama yang bebas secara mutlak, akan tetapi Islam adalah agama yang penganutnya wajib berpegang pada akidah dan syariah dalam seluruh tataran kehidupan. Tidak terkecuali masalah politik, ekonomi, dan undang-undang kemasyarakatan. Semua harus mengacu pada fikih Islam.
Seiring dengan perkembangan masyarakat, perkembangan fikih pun harus terus beradaptasi hingga bisa menjawab seluruh problematika masyarakat yang semakin akut.
Tidak seperti gambaran orang non-muslim bahwa Islam adalah agama yang serba sulit. Sebenarnya, syariat Islam adalah mudah (taysir) karena terbangun di atas pondasi yang mudah pula, sebagaimana yang telah difirmankan oleh Tuhan dalam beberapa ayat di bawah ini;
ما يريد الله ليجعل عليكم فى الدين من حرج ولكن يريد ليطهركم وليتم نعمته عليكم لعلكم تشكرون[1]
يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر[2]
يريد الله ان يخفف عنكم وخلق الانسان ضعيفا[3]
ذالك تخفيف من ربكم ورحمة[4]
وما جعل عليكم فى ادين من حرج [5]
وما ارسلناك الا رحمة للعالمين[6]
Terkait dengan hal ini, Nabi pun menyinggungnya dalam beberapa sabdanya;
يا ايها الناس انما انا رحمة مهداة[7]
يسرا ولاتعسرا وبشرا ولا تنفرا وتطوعا[8]

Dalam diskurusus ini, yang dimaksud dengan Taysîr al-Fiqh dapat ditilik dari dua sisi: Pertama, metodologi untuk mempermudah pemahaman masyarakat dalam mengenal dan memahami fikih. Kedua, implementasi fikih dengan cara mengambil pendapat yang lebih ringan untuk disebarkan ke masyarakat luas.


METODOLOGI FIQH AL-TAYSÎR
Sangat banyak buku-buku fikih yang telah beredar dimasyarakat, yang dalam pengamatan Qardhawi, diantara buku-buku itu kurang memenuhi standar penulisan yang bisa memahamkan semua kalangan, khususnya masyarakat akar rumput. Sehingga pergeseran positif dalam pemahaman masyarakat terhadap fikih menjadi lamban. Maka disusunlah beberapa kaidah yang diharapkan bisa menjadi acuan untuk pengajaran dimasyarakat
Dalam mempermudah pemahaman terhadap fikih, Qardhawi mengajak para ahli dibidangnya untuk menggunakan cara-cara yang sekiranya masyarakat awam akan mudah dalam memahaminya, sehingga lebih rasional bagi pemahaman mereka, dengan penekanan untuk lebih konsen pada hal-hal yang waqi'i, yang sangat dibutuhkan pada saat-saat sekarang. Dan adakalanya perlu dijelaskan hikmah daripada disyariatkannya suatu hukum.
Sebisa mungkin menghindari metode yang mempersulit pemahaman disebabkan terlalu banyak pendefinisian dan pen-tafsil-an. Akan lebih baik jika dalam menelaah fikih memanfaatkan semua kitab fikih yang beredar dari semua madzhab, dari ahli-ahli yang terpercaya, sehingga tercapailah sebuah pemahaman yang komprehensif
Sangatlah perlu dalam penulisan buku-buku fikih untuk tidak lupa menyertakan keterangan-keterangan yang dapat memperjelas dari pemahaman pembaca dengan penambahan fihris, dan syakl untuk ayat al-Qur’an dan hadits Nabi, juga menerangkan derajat validitas transmisi hadits.
Sedangkan untuk menjaga dari pemahaman yang keliru, sebisa mungkin untuk menghubungkan suatu sub-hukum dengan hukum yang lain, supaya tercapai keselarasan, seperti dalam kasus pembunuhan tanpa disengaja perlu dihubungkan dengan perintah tentang nafkah terhadap keluarga dan aturan waris, sehingga tidak terjadi ketimpangan dalam aplikasi fikih


IMPLEMENTASI FIQH AL-TAYSIR
Adalah penyajian fikih yang sekiranya lebih mudah dan sesuai dengan logika umat Islam secara mayoritas, dengan cara mempersempit dalam penerapan hukum qath’i seperti fardhu dan haram kecuali dengan dalil yang benar-benar kuat. Lebih toleran terhadap hal-hal yang terjadi karena ke-dharurat-an. Memilih hukum yang lebih ringan dan menghindari penerapan hukum yang terlalu ekstrim dalam kehati-hatiannya. Tidak berpegang pada satu madzhab saja, karena dengan berpegang terhadap satu madzhab hanya akan mengakibatkan kesulitan dalam implementasi fikih.
Sedangkan yang dimaksud dengan tidak berpegang hanya dengan satu madzhab disini adalah membebaskan diri dari taklid dan fanatik terhadap madzhab tertentu, bukannya membuang semua pendapat madzhab akan tetapi memilih diantara pendapat yang paling sesuai dengan maksud Allah swt dan kemaslahatan manusia. Karena bermadzhab hanya pada satu madzhab berarti berpegang terhadap hal-hal yang tidak diwajibkan oleh Allah swt dan Rasulnya, sedangkan kita hanyalah diperintah untuk berpegang teguh terhadap Kitab dan Sunnah.
Dan diantara hal yang sangat penting dalam penerapan fikih yang taysir adalah mengambil pendapat yang lebih mudah dalam hal yang sangat berhubungan dengan masyarakat banyak, baik pada tataran ibadah maupun muamalah, seperti dalam hal-hal yang berhubungan dengan thaharah dan najasat lebih baiknya untuk mengikuti pendapat Imam Malik daripada mengikuti Imam Syafi'i, karena untuk mengikuti pendapatnya hanyalah akan mempersulit dalam implementasi fikih itu sendiri.
Diperbolehkan adanya perubahan dalam berfatwa, sekiranya tetap menjaga terhadap Maqâshid al-Syari’ah, yang mana perubahan itu disesuaikan dengan perubahan waktu, tempat, kondisi-situasi, dan tradisi.


USHUL AL-FIQH AL-TAYSIR
Dari beberapa tahun lalu terjadi perdebatan hangat seputar Ushûl al-Fiqh (Islamic legal teory) perihal “Apakah dalam Ushul al-Fiqh dimungkinkan terjadinya ijtihad dan tajdid sebagaimana pada cabang-cabang fikih yang bersifat terapan, ataukah Ushul al-Fiqh sudah tidak bisa lagi menerima adanya perubahan atau ijtihad baru?”
Dalam pandangan Qardhawi, Ushul al-Fiqh tidak berbeda dengan fikih. Sebagian menerima perubahan dan sebagian yang lain tidak. Yang tidak menerima adalah yang bersifat qath'i sedangkan yang dhanni menerima perubahan.


AL-QUR’AN SEBAGAI PEGANGAN
Al-Qur’an adalah masdar pertama dalam pembentukan Ushul al-Fiqh, lebih kuat- kuatnya dalil, karena al-Qur’an adalah kitab Allah swt yang tidak mungkin terdapat kesalahan didalamnya, kalam tuhan dari semua segi, segi lafad dan ma'nanya, yang selalu dijaga oleh-Nya dari perubahan maupun pemalsuan, oleh karena itu berhukum dengan menggunakan hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an adalah suatu keharusan yang tidak bisa tidak.
Diantara beberapa pemahaman yang perlu ditentang adalah penaskh-han ayat al-Qur’an dengan ayat lainnya tanpa ada kejelasan yang pasti, sedangkan semua dari kalam tuhan adalah muhkam tidak ada yang mansukh. Naskh dalam pemahaman yang benar adalah peng-qayyid-an ayat setelahnya dari ayat sebelumnya yang bersifat umum.


BERDIALEK DENGAN SUNNAH
Al-Qur’an adalah benteng agama, sendi-sendi kehidupan umat Islam, dan Sunnah Nabi saw sebagai penjelasnya. Kemudian, bagaimanakah cara kita untuk berinteraksi dengan Sunnah al-Nabawiyyah tersebut ? Dalam hal ini Qardhawi menarik beberapa kaidah yang disesuaikan dengan kebutuhan akan fiqh al-taysir saat ini.
Diantaranya, tidak berpegang kepada hadits kecuali hadits yang shahih untuk hal-hal yang berhubungan dengan hukum pada syariat Islam yang lima. Mengusahakan pencarian titik temu antara fikih dan hadits dengan cara seorang pengkaji fiqih juga harus mengkaji hadits secara dalam, sehingga tidak terjadi perbenturan dalam pendapat diantara keduanya dan berhasil menelurkan pendapat yang lebih rajih.
Adanya pembedaan antara sunnah tasyri’i dengan sunnah yang ghayr al-tasyri’i, karena perintah dan larangan dalam sunnah tidak semuanya menunjukan hukum wajib dan haram, adakalanya hanya sampai pada istihbab dan karahah, akan bisa menunjukkkan makna wajib dan haram apabila sunnah tersebut berhubungan dengan dalil lain yang menunjukkan atas wajib atau haramnya.
Acapkali dalam pemahaman terhadap hadits yang dikaitkan dengan rawi--nya, terjadi suatu penambahan dalam kekuatan hadits dengan mengangkatnya dari suatu tingkat ketingkat yang lebih tinggi derajat validitasnya, sehingga terjadilah suatu keadaan terlalu hati-hati dan syadid dalam implementasi fikih yang mengakibatkan kesulitan dalam penjalanan syariat Islam.


KONSENSUS ULAMA
Adalah kesepakatan para ulama atas suatu permasalahan yang mengacu kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam hal ini Qardhawi membuat beberapa kriteria untuk membedakan antara konsensus (ijma’) yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah atau tidak ada kesesuaian, dengan mengusahakan kehati-hatian dalam memilah pendapat-pendapat yang disandarkan kepada konsensus ulama, karena terkadang hukum-hukum yang ditetapkan dengan konsensus masih terdapat kejanggalan dengan adanya beberapa pendapat yang bertentangan dengannya, akan tetapi tidak diketahui karena bedanya tempat .
Sedangkan untuk hasil konsensus yang tidak ada pendapat yang menentang atasnya tetap harus diikuti, khususnya untuk konsensus yang terjadi pada masa-masa awal Islam. Walaupun dimungkinkan terjadinya pembatalan terhadap konsensus yang telah berlaku dengan ijtihad, sekiranya hal itu bertujuan untuk menyesuaikan dengan kebiasaan atau kemaslahatan tertentu.Akan tetapi kalau terdapat suatu konsensus yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, maka konsensus itu harus ditolak, walaupun terjadi pada zaman shahabat Nabi saw.
Kemudian, bagaimanakah kalau terjadi Ihdâts Qoul al-Tsâlits atau munculnya pendapat ketiga yang berhadapan dengan konsensus dalam suatu pembahasan hukum, apakah harus ditolak ?
Dengan mengutip pendapat Âmadi, Qardhawi menjawab; apabila sampai merusak hasil konsensus secara total maka harus ditolak, sedangkan kalau hanya terdapat sedikit perubahan seperti penambahan syarat maka diperbolehkan untuk menerimanya.


ANALOGI
Analogi atau qiyas adalah pegangan keempat dalam berijtihad ulama Islam, yang dimaksud dengan analogi disini adalah menimbang dua permasalahan, dimana salah satu sudah ada hukumnya sedangkan yang lain belum, dengan melihat kesamaan ‘illat diantara keduanya dan tidak adanya dalil lain yang bisa menjadikan adanya ketidaksesuaian, sehingga memungkinkan terjadinya kesamaan hukum diantara keduanya.
Analogi dapat diterapkan dalam pelbagai permasalahan fikih, kecuali pada hal-hal yang berhubungan dengan ubudiyyah yang mahdhah. Karena dalam ubudiyyah al-mahdhah hanya boleh mengikuti seperti apa yang telah diperintahkan oleh Allah swt dan Rasulnya, tanpa adanya penambahan sedikitpun.


ISTIHSAN DAN ISTISHLAH
Diantara beberapa hal yang akan mempermudah dalam penerapan Syariah Islam adalah keterbukaan untuk mengambil setiap alat atupun metode dalam mengkaji fikih, sekiranya alat itu tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Diantara alat yang sesuai dalam pandangan Qardhawi adalah Istihsan dan Istishlah.
Yang dimaksud dengan istihsan adalah mengambil kebaikan dengan beramal atas lebih kuat-kuatnya dalil, sebagaimana dalam kasus diperbolehkannya membuka aurat pasien untuk pengobatan, yang tadinya diharamkan menjadi diperbolehkan karena menjaga kesehatan badan lebih dhoruri.
Istishlah atau bisa juga disebut dengan Istidlal bi al-mashalihi al-mursalah dapat dipakai pada saat tidak ada dalil khusus secara syar’i yang menetapkan hukum suatu permasalahan, sedangkan secara teori kebaikan yang bersifat humanistis telah ada putusannya, maka keputusan itu bisa dipakai sebagai landasan hukum fikih.


PENJAGAAN TERHADAP MAQASHID AL-SYAR’ÎAH DENGAN TETAP BERPEGANG KEPADA JUZ’IYYAT AL-NUSHUSH
Saat ini terdapat perbantahan sengit diseputar ahli Ushul al-Fiqh antara yang lebih menekankan pada dhahirnya nash yang bersifat juz’i yang acap disebut sebagai Neo dzahiriyyah dan golongan yang lebih mengagung-agungkan Maqashid al-Kulliyyah sebagai tujuan ditegakkannya syariat Islam dengan melupakan nash-nash yang bersifat juz’i, hingga muncullah golongan ketiga yang mencoba untuk mengkompilasi antara keduanya, yang bagi Qardhawi golongan inilah yang terbaik diantara ketiganya, karena tetap menghormati nash-nash juz’i yang juga berasal dari Tuhan, dan tetap mengusahakan tegaknya Maqashid al-Kulliyyah sebagai kesesuaian dengan hukum-hukum humanisme.
Dalam hal lain terkadang terjadi suatu kasus Iqrar al-Hiyal atau tipuan legal yang terjadi pada beberapa permasalahan yang menafikan Maqasid al-Syarî’ah saat berbenturan dengan realita dan dhohiriyyat al-nash. Untuk hal ini Qardhawi lebih cenderung untuk mempertahankan Maqashid al-Syarî’ah dengan menafikan Iqror al-Hiyal, dan tetap berhujjah dengan hadits nabi “ Innama al-‘Amalu Bi al-Niât, Wa Innamâ Likullimriin Mâ Nawâ “ .
Perlunya untuk mengetahui Maqashid diturunkannya syariat adalah suatu hal yang sangat ditekankan bagi seorang pengkaji syariat Islam, agar tidak terjadi perbenturan dengan cara berpikir umat Islam, karena terkadang ketidaktahuan akan maqâshid al-syar’iah sangat berefek bagi penalaran mereka yang yakin bahwa diturunkannya syariat adalah untuk kebaikan manusia.
Adanya pertentangan antara golongan yang lebih berpegang kepada Dhawâhir al-Nushûsh dengan golongan penegak Maqashid dan Rûh al-Nash bukanlah hal yang aneh, konflik semacam ini tidaklah terjadi pada masa ini saja, akan tetapi pada zaman Nabi saw pun pernah terjadi. Sebagaimana yang terjadi dalam kisah “Sholat Ashar di Bani Quraidhoh” saat Nabi saw mengeluarkan sebuah statemen “Man Kâna Yu’minu Billaahi Wa al-Yaumi al-Âkhiri Falaa Yushalliina al-Âshra Illaa Fî Banî Quraidhah” maka diantara shahabat yang lebih memperhatikan apa yang dimaksudkan oleh Nabi , tetap shalat diperjalanan dan tidak menyia-nyiakan waktunya untuk cepat sampai di bani quraidhah.
Sedangkan bagi shahabat yang terlalu berpegang terhadap nash perkataan Nabi, mereka menolak untuk ikut shalat dijalan hingga sampai di Bani Quraidhah.
Kemudian muncullah suatu pertanyaan diantara ulama siapakah diantara kedua golongan yang benar ?
Ibnu al-Qoyyim menjawab bahwa yang benar diantara kedua golongan adalah yang melaksankan shalat di jalan, dengan menggunakan argumen yang cukup kuat; Nabi saw memerintahkan kepada umat muslim untuk mempermudah segala sesuatu dan janganlah mempersulitnya.



IJTIHAD, ADALAH SUATU PERUBAHAN
Diantara segi kemudahan yang ditawarkan syariat Islam adalah memungkinkan terjadinya perubahan fatwa disebabkan perubahan kondisi, waktu, tempat, dan kebiasaan, tidak dengan melulu harus mengikuti fatwa yang keluar sebelumnya. Akan tetapi dalam ketentuan tetap harus berpegang kepada Maqashid al-Syari’ah. Karena, bagaimanapun juga permasalahan umat Islam akan terus datang yang tidak mungkin disikapi hanya dengan menggunakan fatwa ulama terdahulu.
Fikih adalah implementasi dari syariat Islam, akan tetapi fikih itu sendiri bukanlah syariat Islam, sehingga mungkin adanya perubahan seiring perubahan yang dihadapi disesuaikan sebaik mungkin hingga tetap sesuai dengan maksud Allah swt dan menghormati asas-asas humanisme.
Dengan adanya perubahan dalam banyak segi didunia ini, adanya suatu hal yang tadinya tidak ada, mau tidak mau perubahan fatwa dengan ijtihad baru adalah satu-satunya solusi untuk pemecahannya. Dalam segala hal, kecuali hanya pada masalah ibadah saja yang tidak boleh diijtihadi.
Dalam ijtihad ini ditekankan berdiri diatas asas pertimbangan untuk mencari yang terbaik (tarjih) dan mendapat solusi untuk permasalahan yang sedang terjadi.
Adapun tentang pendapat sebagian ulama yang tetap mempertahankan telah tertutupnya pintu ijtihad, bagi Qardhawi itu adalah pendapat yang salah besar, karena yang telah membuka pintu ijtihad adalah Rasulullah saw, maka tidak ada seorangpun yang berhak untuk menutupnya.


ILHAM SEBAGAI HUJJAH SYAR’I
Dalam perjalanan syariat Islam akan terus terjadi tarik menarik dalam implementasi fikihnya, selama ini tarik menarik itu telah terjadi berkali-kali, menerobos pelbagai ranah keilmuan, diantaranya adalah tasawwuf. Hingga terdapat golongan yang berpendapat bolehnya ilham sebagai hujjah syar’i, yang dalam pandangan Qardhawi, ilham hanya bisa dijadikan hujjah apabila tidak bertentangan dengan Kitab Allah swt dan Sunnah Rasulnya dalam artian ilham hanyalah berfungsi sebagai dalil tambahan saja. Walaupun bagi Qardhawi tasawwuf (fiqhu al-suluk) adalah termasuk ilmu yang amat penting bagi peningkatan keimanan seseorang, akan tetapi dia tidak setuju jika tasawwuf ikut campur dalam wilayah implementasi fikih. Dia juga berpendapat, tidak boleh meyakini sesuatu yang berhubungan dengan alam ghaib yang tidak terdapat dalam Kitab dan Sunnah.


RU’YA AL-SHALIHAH SEBAGAI HUJJAH SYAR’I
Sebagaimana ilham yang tidak boleh dijadikan masdar dari hukum syar’i, dan hanya diperbolehkan sebagai penguat saja, Ru’ya al-Shalihah pun begitu pula. Ru’ya al-Shalihah hanya berfungsi sebagai kabar gembira (tabsyir) ataupun peringatan (tanbih) untuk memantapkan hati orang-orang yang beriman. Ru’ya al-Shalihah tidak bisa dibilang sebagai dalil syar’i karena tidak boleh dipakai sebagai hujjah diperbolehkan tidaknya suatu perbuatan.
Kalau Ru’ya al-Shalihah tidak bisa dijadikan hujjah syar’i, apakah Ru’ya al-Nabiyyi saw juga tidak bisa? jawabannya sama., tetap tidak bisa karena yang diwajibkan oleh Allah swt untuk menetapinya hanyalah risalah Nabi pada saat Nabi saw masih hidup, walaupun terdapat hadits yang menerangkan akan kebenaran kejadian seseorang yang bertemu nabi didalam mimpi, tetap tidak bisa dijadikan hujjah syar’i dikarenakan untuk saat sekarang sudah tidak mungkin adanya orang yang tahu benar akan Nabi, wajah, perawakan, maupun sifat-sifatnya secara pasti, yang kita ketahui selama ini hanyalah dari Sirah al-Nabawiyyah. Kesimpulannya yang tahu secara pasti hanyalah para shahabat Nabi.


KONKLUSI
Fikih adalah hasil pemahaman pengkaji terhadap agama yang diproyeksikan terhadap tatanan kehidupan baik sisi ritual maupun sosial, sehingga fikih itu sendiri sebenarnya bukanlah syariat yang diturunkan oleh Tuhan kepada manusia, yang harus selalu diikuti . Maka dimungkinkan adanya perubahan fikih seiring perubahan-perubahan lain, yang dalam konsep Qardhawi; perubahan yang tetap berpegang kepada Maqashid al-Syari’ah dan Juzi’iyyatu al-Nushush sekaligus.
Allah swt telah menurunkan Syariat ke bumi untuk kebaikan manusia, yang tentunya disesuaikan dengan kadar kemampuan manusia pula. Allah swt tidak akan memerintahkan sesuatu sekiranya kita tidak mampu untuk memikulnya, karena sesungguhnya manusia adalah mahluk yang benar-benar lemah. Syariat Islam diturunkan penuh dengan kemudahan-kemudahan yang terkadang menjadi sulit karena kesalahan penafsiran kita sendiri, dengan itu Qardhawi mencoba mengajak kita untuk kembali memahami islam sesuai dengan karakter Syariat yang taysir.



Selamat Mengkaji!

* Makalah ini dipresentasikan pada diskusi perdana dwi mingguan “RAKHMA”, Selasa 14 Pebruari 2006
** Penulis adalah mahasiswa Al-Azhar, Fakultas Dirrasat al-Islamiyyah Wa al-Arabiyyah, Kairo.
[1] SQ. al-Mâidah : 6
[2] SQ. al-Baqarah: 185
[3] SQ. al-Nisa : 28
[4] SQ. al-Baqarah: 178
[5] SQ. al-Haj : 78
[6] SQ. al-Anbiya : 107
[7] HR. Hakim, lihat al-Ahâdits al-Shahîhah hadits ke 490
[8] Muttafaq ‘alaihi, terdapat di al-Lu’lu’ Wa al-Marjân hadits ke 1130

Labels:

posted by Admin @ 4:46 PM, ,