Resensi Fikih Taysir Qardhawi

FIQH AL-TAYSÎR
DALAM BUKU TAYSIR AL-FIQH LI AL- MUSLIM AL-MU’ASHIR*
KARYA DR.YUSUF QARDHAWI
Oleh : MN. Ary B**



PENDAHULUAN
Islam bukanlah agama yang bebas secara mutlak, akan tetapi Islam adalah agama yang penganutnya wajib berpegang pada akidah dan syariah dalam seluruh tataran kehidupan. Tidak terkecuali masalah politik, ekonomi, dan undang-undang kemasyarakatan. Semua harus mengacu pada fikih Islam.
Seiring dengan perkembangan masyarakat, perkembangan fikih pun harus terus beradaptasi hingga bisa menjawab seluruh problematika masyarakat yang semakin akut.
Tidak seperti gambaran orang non-muslim bahwa Islam adalah agama yang serba sulit. Sebenarnya, syariat Islam adalah mudah (taysir) karena terbangun di atas pondasi yang mudah pula, sebagaimana yang telah difirmankan oleh Tuhan dalam beberapa ayat di bawah ini;
ما يريد الله ليجعل عليكم فى الدين من حرج ولكن يريد ليطهركم وليتم نعمته عليكم لعلكم تشكرون[1]
يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر[2]
يريد الله ان يخفف عنكم وخلق الانسان ضعيفا[3]
ذالك تخفيف من ربكم ورحمة[4]
وما جعل عليكم فى ادين من حرج [5]
وما ارسلناك الا رحمة للعالمين[6]
Terkait dengan hal ini, Nabi pun menyinggungnya dalam beberapa sabdanya;
يا ايها الناس انما انا رحمة مهداة[7]
يسرا ولاتعسرا وبشرا ولا تنفرا وتطوعا[8]

Dalam diskurusus ini, yang dimaksud dengan Taysîr al-Fiqh dapat ditilik dari dua sisi: Pertama, metodologi untuk mempermudah pemahaman masyarakat dalam mengenal dan memahami fikih. Kedua, implementasi fikih dengan cara mengambil pendapat yang lebih ringan untuk disebarkan ke masyarakat luas.


METODOLOGI FIQH AL-TAYSÎR
Sangat banyak buku-buku fikih yang telah beredar dimasyarakat, yang dalam pengamatan Qardhawi, diantara buku-buku itu kurang memenuhi standar penulisan yang bisa memahamkan semua kalangan, khususnya masyarakat akar rumput. Sehingga pergeseran positif dalam pemahaman masyarakat terhadap fikih menjadi lamban. Maka disusunlah beberapa kaidah yang diharapkan bisa menjadi acuan untuk pengajaran dimasyarakat
Dalam mempermudah pemahaman terhadap fikih, Qardhawi mengajak para ahli dibidangnya untuk menggunakan cara-cara yang sekiranya masyarakat awam akan mudah dalam memahaminya, sehingga lebih rasional bagi pemahaman mereka, dengan penekanan untuk lebih konsen pada hal-hal yang waqi'i, yang sangat dibutuhkan pada saat-saat sekarang. Dan adakalanya perlu dijelaskan hikmah daripada disyariatkannya suatu hukum.
Sebisa mungkin menghindari metode yang mempersulit pemahaman disebabkan terlalu banyak pendefinisian dan pen-tafsil-an. Akan lebih baik jika dalam menelaah fikih memanfaatkan semua kitab fikih yang beredar dari semua madzhab, dari ahli-ahli yang terpercaya, sehingga tercapailah sebuah pemahaman yang komprehensif
Sangatlah perlu dalam penulisan buku-buku fikih untuk tidak lupa menyertakan keterangan-keterangan yang dapat memperjelas dari pemahaman pembaca dengan penambahan fihris, dan syakl untuk ayat al-Qur’an dan hadits Nabi, juga menerangkan derajat validitas transmisi hadits.
Sedangkan untuk menjaga dari pemahaman yang keliru, sebisa mungkin untuk menghubungkan suatu sub-hukum dengan hukum yang lain, supaya tercapai keselarasan, seperti dalam kasus pembunuhan tanpa disengaja perlu dihubungkan dengan perintah tentang nafkah terhadap keluarga dan aturan waris, sehingga tidak terjadi ketimpangan dalam aplikasi fikih


IMPLEMENTASI FIQH AL-TAYSIR
Adalah penyajian fikih yang sekiranya lebih mudah dan sesuai dengan logika umat Islam secara mayoritas, dengan cara mempersempit dalam penerapan hukum qath’i seperti fardhu dan haram kecuali dengan dalil yang benar-benar kuat. Lebih toleran terhadap hal-hal yang terjadi karena ke-dharurat-an. Memilih hukum yang lebih ringan dan menghindari penerapan hukum yang terlalu ekstrim dalam kehati-hatiannya. Tidak berpegang pada satu madzhab saja, karena dengan berpegang terhadap satu madzhab hanya akan mengakibatkan kesulitan dalam implementasi fikih.
Sedangkan yang dimaksud dengan tidak berpegang hanya dengan satu madzhab disini adalah membebaskan diri dari taklid dan fanatik terhadap madzhab tertentu, bukannya membuang semua pendapat madzhab akan tetapi memilih diantara pendapat yang paling sesuai dengan maksud Allah swt dan kemaslahatan manusia. Karena bermadzhab hanya pada satu madzhab berarti berpegang terhadap hal-hal yang tidak diwajibkan oleh Allah swt dan Rasulnya, sedangkan kita hanyalah diperintah untuk berpegang teguh terhadap Kitab dan Sunnah.
Dan diantara hal yang sangat penting dalam penerapan fikih yang taysir adalah mengambil pendapat yang lebih mudah dalam hal yang sangat berhubungan dengan masyarakat banyak, baik pada tataran ibadah maupun muamalah, seperti dalam hal-hal yang berhubungan dengan thaharah dan najasat lebih baiknya untuk mengikuti pendapat Imam Malik daripada mengikuti Imam Syafi'i, karena untuk mengikuti pendapatnya hanyalah akan mempersulit dalam implementasi fikih itu sendiri.
Diperbolehkan adanya perubahan dalam berfatwa, sekiranya tetap menjaga terhadap Maqâshid al-Syari’ah, yang mana perubahan itu disesuaikan dengan perubahan waktu, tempat, kondisi-situasi, dan tradisi.


USHUL AL-FIQH AL-TAYSIR
Dari beberapa tahun lalu terjadi perdebatan hangat seputar Ushûl al-Fiqh (Islamic legal teory) perihal “Apakah dalam Ushul al-Fiqh dimungkinkan terjadinya ijtihad dan tajdid sebagaimana pada cabang-cabang fikih yang bersifat terapan, ataukah Ushul al-Fiqh sudah tidak bisa lagi menerima adanya perubahan atau ijtihad baru?”
Dalam pandangan Qardhawi, Ushul al-Fiqh tidak berbeda dengan fikih. Sebagian menerima perubahan dan sebagian yang lain tidak. Yang tidak menerima adalah yang bersifat qath'i sedangkan yang dhanni menerima perubahan.


AL-QUR’AN SEBAGAI PEGANGAN
Al-Qur’an adalah masdar pertama dalam pembentukan Ushul al-Fiqh, lebih kuat- kuatnya dalil, karena al-Qur’an adalah kitab Allah swt yang tidak mungkin terdapat kesalahan didalamnya, kalam tuhan dari semua segi, segi lafad dan ma'nanya, yang selalu dijaga oleh-Nya dari perubahan maupun pemalsuan, oleh karena itu berhukum dengan menggunakan hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an adalah suatu keharusan yang tidak bisa tidak.
Diantara beberapa pemahaman yang perlu ditentang adalah penaskh-han ayat al-Qur’an dengan ayat lainnya tanpa ada kejelasan yang pasti, sedangkan semua dari kalam tuhan adalah muhkam tidak ada yang mansukh. Naskh dalam pemahaman yang benar adalah peng-qayyid-an ayat setelahnya dari ayat sebelumnya yang bersifat umum.


BERDIALEK DENGAN SUNNAH
Al-Qur’an adalah benteng agama, sendi-sendi kehidupan umat Islam, dan Sunnah Nabi saw sebagai penjelasnya. Kemudian, bagaimanakah cara kita untuk berinteraksi dengan Sunnah al-Nabawiyyah tersebut ? Dalam hal ini Qardhawi menarik beberapa kaidah yang disesuaikan dengan kebutuhan akan fiqh al-taysir saat ini.
Diantaranya, tidak berpegang kepada hadits kecuali hadits yang shahih untuk hal-hal yang berhubungan dengan hukum pada syariat Islam yang lima. Mengusahakan pencarian titik temu antara fikih dan hadits dengan cara seorang pengkaji fiqih juga harus mengkaji hadits secara dalam, sehingga tidak terjadi perbenturan dalam pendapat diantara keduanya dan berhasil menelurkan pendapat yang lebih rajih.
Adanya pembedaan antara sunnah tasyri’i dengan sunnah yang ghayr al-tasyri’i, karena perintah dan larangan dalam sunnah tidak semuanya menunjukan hukum wajib dan haram, adakalanya hanya sampai pada istihbab dan karahah, akan bisa menunjukkkan makna wajib dan haram apabila sunnah tersebut berhubungan dengan dalil lain yang menunjukkan atas wajib atau haramnya.
Acapkali dalam pemahaman terhadap hadits yang dikaitkan dengan rawi--nya, terjadi suatu penambahan dalam kekuatan hadits dengan mengangkatnya dari suatu tingkat ketingkat yang lebih tinggi derajat validitasnya, sehingga terjadilah suatu keadaan terlalu hati-hati dan syadid dalam implementasi fikih yang mengakibatkan kesulitan dalam penjalanan syariat Islam.


KONSENSUS ULAMA
Adalah kesepakatan para ulama atas suatu permasalahan yang mengacu kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam hal ini Qardhawi membuat beberapa kriteria untuk membedakan antara konsensus (ijma’) yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah atau tidak ada kesesuaian, dengan mengusahakan kehati-hatian dalam memilah pendapat-pendapat yang disandarkan kepada konsensus ulama, karena terkadang hukum-hukum yang ditetapkan dengan konsensus masih terdapat kejanggalan dengan adanya beberapa pendapat yang bertentangan dengannya, akan tetapi tidak diketahui karena bedanya tempat .
Sedangkan untuk hasil konsensus yang tidak ada pendapat yang menentang atasnya tetap harus diikuti, khususnya untuk konsensus yang terjadi pada masa-masa awal Islam. Walaupun dimungkinkan terjadinya pembatalan terhadap konsensus yang telah berlaku dengan ijtihad, sekiranya hal itu bertujuan untuk menyesuaikan dengan kebiasaan atau kemaslahatan tertentu.Akan tetapi kalau terdapat suatu konsensus yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, maka konsensus itu harus ditolak, walaupun terjadi pada zaman shahabat Nabi saw.
Kemudian, bagaimanakah kalau terjadi Ihdâts Qoul al-Tsâlits atau munculnya pendapat ketiga yang berhadapan dengan konsensus dalam suatu pembahasan hukum, apakah harus ditolak ?
Dengan mengutip pendapat Âmadi, Qardhawi menjawab; apabila sampai merusak hasil konsensus secara total maka harus ditolak, sedangkan kalau hanya terdapat sedikit perubahan seperti penambahan syarat maka diperbolehkan untuk menerimanya.


ANALOGI
Analogi atau qiyas adalah pegangan keempat dalam berijtihad ulama Islam, yang dimaksud dengan analogi disini adalah menimbang dua permasalahan, dimana salah satu sudah ada hukumnya sedangkan yang lain belum, dengan melihat kesamaan ‘illat diantara keduanya dan tidak adanya dalil lain yang bisa menjadikan adanya ketidaksesuaian, sehingga memungkinkan terjadinya kesamaan hukum diantara keduanya.
Analogi dapat diterapkan dalam pelbagai permasalahan fikih, kecuali pada hal-hal yang berhubungan dengan ubudiyyah yang mahdhah. Karena dalam ubudiyyah al-mahdhah hanya boleh mengikuti seperti apa yang telah diperintahkan oleh Allah swt dan Rasulnya, tanpa adanya penambahan sedikitpun.


ISTIHSAN DAN ISTISHLAH
Diantara beberapa hal yang akan mempermudah dalam penerapan Syariah Islam adalah keterbukaan untuk mengambil setiap alat atupun metode dalam mengkaji fikih, sekiranya alat itu tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Diantara alat yang sesuai dalam pandangan Qardhawi adalah Istihsan dan Istishlah.
Yang dimaksud dengan istihsan adalah mengambil kebaikan dengan beramal atas lebih kuat-kuatnya dalil, sebagaimana dalam kasus diperbolehkannya membuka aurat pasien untuk pengobatan, yang tadinya diharamkan menjadi diperbolehkan karena menjaga kesehatan badan lebih dhoruri.
Istishlah atau bisa juga disebut dengan Istidlal bi al-mashalihi al-mursalah dapat dipakai pada saat tidak ada dalil khusus secara syar’i yang menetapkan hukum suatu permasalahan, sedangkan secara teori kebaikan yang bersifat humanistis telah ada putusannya, maka keputusan itu bisa dipakai sebagai landasan hukum fikih.


PENJAGAAN TERHADAP MAQASHID AL-SYAR’ÎAH DENGAN TETAP BERPEGANG KEPADA JUZ’IYYAT AL-NUSHUSH
Saat ini terdapat perbantahan sengit diseputar ahli Ushul al-Fiqh antara yang lebih menekankan pada dhahirnya nash yang bersifat juz’i yang acap disebut sebagai Neo dzahiriyyah dan golongan yang lebih mengagung-agungkan Maqashid al-Kulliyyah sebagai tujuan ditegakkannya syariat Islam dengan melupakan nash-nash yang bersifat juz’i, hingga muncullah golongan ketiga yang mencoba untuk mengkompilasi antara keduanya, yang bagi Qardhawi golongan inilah yang terbaik diantara ketiganya, karena tetap menghormati nash-nash juz’i yang juga berasal dari Tuhan, dan tetap mengusahakan tegaknya Maqashid al-Kulliyyah sebagai kesesuaian dengan hukum-hukum humanisme.
Dalam hal lain terkadang terjadi suatu kasus Iqrar al-Hiyal atau tipuan legal yang terjadi pada beberapa permasalahan yang menafikan Maqasid al-Syarî’ah saat berbenturan dengan realita dan dhohiriyyat al-nash. Untuk hal ini Qardhawi lebih cenderung untuk mempertahankan Maqashid al-Syarî’ah dengan menafikan Iqror al-Hiyal, dan tetap berhujjah dengan hadits nabi “ Innama al-‘Amalu Bi al-Niât, Wa Innamâ Likullimriin Mâ Nawâ “ .
Perlunya untuk mengetahui Maqashid diturunkannya syariat adalah suatu hal yang sangat ditekankan bagi seorang pengkaji syariat Islam, agar tidak terjadi perbenturan dengan cara berpikir umat Islam, karena terkadang ketidaktahuan akan maqâshid al-syar’iah sangat berefek bagi penalaran mereka yang yakin bahwa diturunkannya syariat adalah untuk kebaikan manusia.
Adanya pertentangan antara golongan yang lebih berpegang kepada Dhawâhir al-Nushûsh dengan golongan penegak Maqashid dan Rûh al-Nash bukanlah hal yang aneh, konflik semacam ini tidaklah terjadi pada masa ini saja, akan tetapi pada zaman Nabi saw pun pernah terjadi. Sebagaimana yang terjadi dalam kisah “Sholat Ashar di Bani Quraidhoh” saat Nabi saw mengeluarkan sebuah statemen “Man Kâna Yu’minu Billaahi Wa al-Yaumi al-Âkhiri Falaa Yushalliina al-Âshra Illaa Fî Banî Quraidhah” maka diantara shahabat yang lebih memperhatikan apa yang dimaksudkan oleh Nabi , tetap shalat diperjalanan dan tidak menyia-nyiakan waktunya untuk cepat sampai di bani quraidhah.
Sedangkan bagi shahabat yang terlalu berpegang terhadap nash perkataan Nabi, mereka menolak untuk ikut shalat dijalan hingga sampai di Bani Quraidhah.
Kemudian muncullah suatu pertanyaan diantara ulama siapakah diantara kedua golongan yang benar ?
Ibnu al-Qoyyim menjawab bahwa yang benar diantara kedua golongan adalah yang melaksankan shalat di jalan, dengan menggunakan argumen yang cukup kuat; Nabi saw memerintahkan kepada umat muslim untuk mempermudah segala sesuatu dan janganlah mempersulitnya.



IJTIHAD, ADALAH SUATU PERUBAHAN
Diantara segi kemudahan yang ditawarkan syariat Islam adalah memungkinkan terjadinya perubahan fatwa disebabkan perubahan kondisi, waktu, tempat, dan kebiasaan, tidak dengan melulu harus mengikuti fatwa yang keluar sebelumnya. Akan tetapi dalam ketentuan tetap harus berpegang kepada Maqashid al-Syari’ah. Karena, bagaimanapun juga permasalahan umat Islam akan terus datang yang tidak mungkin disikapi hanya dengan menggunakan fatwa ulama terdahulu.
Fikih adalah implementasi dari syariat Islam, akan tetapi fikih itu sendiri bukanlah syariat Islam, sehingga mungkin adanya perubahan seiring perubahan yang dihadapi disesuaikan sebaik mungkin hingga tetap sesuai dengan maksud Allah swt dan menghormati asas-asas humanisme.
Dengan adanya perubahan dalam banyak segi didunia ini, adanya suatu hal yang tadinya tidak ada, mau tidak mau perubahan fatwa dengan ijtihad baru adalah satu-satunya solusi untuk pemecahannya. Dalam segala hal, kecuali hanya pada masalah ibadah saja yang tidak boleh diijtihadi.
Dalam ijtihad ini ditekankan berdiri diatas asas pertimbangan untuk mencari yang terbaik (tarjih) dan mendapat solusi untuk permasalahan yang sedang terjadi.
Adapun tentang pendapat sebagian ulama yang tetap mempertahankan telah tertutupnya pintu ijtihad, bagi Qardhawi itu adalah pendapat yang salah besar, karena yang telah membuka pintu ijtihad adalah Rasulullah saw, maka tidak ada seorangpun yang berhak untuk menutupnya.


ILHAM SEBAGAI HUJJAH SYAR’I
Dalam perjalanan syariat Islam akan terus terjadi tarik menarik dalam implementasi fikihnya, selama ini tarik menarik itu telah terjadi berkali-kali, menerobos pelbagai ranah keilmuan, diantaranya adalah tasawwuf. Hingga terdapat golongan yang berpendapat bolehnya ilham sebagai hujjah syar’i, yang dalam pandangan Qardhawi, ilham hanya bisa dijadikan hujjah apabila tidak bertentangan dengan Kitab Allah swt dan Sunnah Rasulnya dalam artian ilham hanyalah berfungsi sebagai dalil tambahan saja. Walaupun bagi Qardhawi tasawwuf (fiqhu al-suluk) adalah termasuk ilmu yang amat penting bagi peningkatan keimanan seseorang, akan tetapi dia tidak setuju jika tasawwuf ikut campur dalam wilayah implementasi fikih. Dia juga berpendapat, tidak boleh meyakini sesuatu yang berhubungan dengan alam ghaib yang tidak terdapat dalam Kitab dan Sunnah.


RU’YA AL-SHALIHAH SEBAGAI HUJJAH SYAR’I
Sebagaimana ilham yang tidak boleh dijadikan masdar dari hukum syar’i, dan hanya diperbolehkan sebagai penguat saja, Ru’ya al-Shalihah pun begitu pula. Ru’ya al-Shalihah hanya berfungsi sebagai kabar gembira (tabsyir) ataupun peringatan (tanbih) untuk memantapkan hati orang-orang yang beriman. Ru’ya al-Shalihah tidak bisa dibilang sebagai dalil syar’i karena tidak boleh dipakai sebagai hujjah diperbolehkan tidaknya suatu perbuatan.
Kalau Ru’ya al-Shalihah tidak bisa dijadikan hujjah syar’i, apakah Ru’ya al-Nabiyyi saw juga tidak bisa? jawabannya sama., tetap tidak bisa karena yang diwajibkan oleh Allah swt untuk menetapinya hanyalah risalah Nabi pada saat Nabi saw masih hidup, walaupun terdapat hadits yang menerangkan akan kebenaran kejadian seseorang yang bertemu nabi didalam mimpi, tetap tidak bisa dijadikan hujjah syar’i dikarenakan untuk saat sekarang sudah tidak mungkin adanya orang yang tahu benar akan Nabi, wajah, perawakan, maupun sifat-sifatnya secara pasti, yang kita ketahui selama ini hanyalah dari Sirah al-Nabawiyyah. Kesimpulannya yang tahu secara pasti hanyalah para shahabat Nabi.


KONKLUSI
Fikih adalah hasil pemahaman pengkaji terhadap agama yang diproyeksikan terhadap tatanan kehidupan baik sisi ritual maupun sosial, sehingga fikih itu sendiri sebenarnya bukanlah syariat yang diturunkan oleh Tuhan kepada manusia, yang harus selalu diikuti . Maka dimungkinkan adanya perubahan fikih seiring perubahan-perubahan lain, yang dalam konsep Qardhawi; perubahan yang tetap berpegang kepada Maqashid al-Syari’ah dan Juzi’iyyatu al-Nushush sekaligus.
Allah swt telah menurunkan Syariat ke bumi untuk kebaikan manusia, yang tentunya disesuaikan dengan kadar kemampuan manusia pula. Allah swt tidak akan memerintahkan sesuatu sekiranya kita tidak mampu untuk memikulnya, karena sesungguhnya manusia adalah mahluk yang benar-benar lemah. Syariat Islam diturunkan penuh dengan kemudahan-kemudahan yang terkadang menjadi sulit karena kesalahan penafsiran kita sendiri, dengan itu Qardhawi mencoba mengajak kita untuk kembali memahami islam sesuai dengan karakter Syariat yang taysir.



Selamat Mengkaji!

* Makalah ini dipresentasikan pada diskusi perdana dwi mingguan “RAKHMA”, Selasa 14 Pebruari 2006
** Penulis adalah mahasiswa Al-Azhar, Fakultas Dirrasat al-Islamiyyah Wa al-Arabiyyah, Kairo.
[1] SQ. al-Mâidah : 6
[2] SQ. al-Baqarah: 185
[3] SQ. al-Nisa : 28
[4] SQ. al-Baqarah: 178
[5] SQ. al-Haj : 78
[6] SQ. al-Anbiya : 107
[7] HR. Hakim, lihat al-Ahâdits al-Shahîhah hadits ke 490
[8] Muttafaq ‘alaihi, terdapat di al-Lu’lu’ Wa al-Marjân hadits ke 1130

Labels:

posted by Admin @ 4:46 PM,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home