Studi Epistema Dan Pergolakan Al-Ghazali

MENGINTIP PERJALANAN SANG IMAM
Studi Epistema Dan Pergolakan al-Ghazali
Oleh MN.Ary B™


“Siapa yang tidak pernah ragu,... tidak akan pernah tahu”
(Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl)


Perjalanan Sang Imam
Imam Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, dilahirkan pada tahun 450 H (1058 M) di Thabran tepatnya kota Thus, masih masuk wilayah Khurasan. Ayahnya, seorang shalih bekerja sebagai pemintal bulu domba (yaghzulu al-shuf),[1] dan menjualnya di tokonya yang juga di kota itu.
Ayah Ghazali meninggal sebelum dia sampai pada umur yang bisa dianggap dewasa. Sebelum ayahnya meninggal sempat menyerahkan dia dan saudarannya "Ahmad" kepada teman ayahnya, seorang sufi, untuk mendidik mereka berdua.
Ghazali kecil belajar dasar-dasar ilmu bahasa arab dan fikih kepada seorang ulama di negaranya yaitu Imam Ahmad bin Muhammad al-Radhikani. Saat usianya belum sampai dua puluh tahun, ia pindah ke daerah Jurjan belajar kepada Imam Abi al-Qasim Ismail bin Mus'adah al-Ismaily. Kemudian kembali lagi ke Thus dan tinggal disana selama tiga tahun.
Setelah itu, pergi ke Naisabur belajar kepada Imam Haramain al-Juwainy, kepala madrasah Nidhamiyah saat itu.[2] Kepada beliaulah Ghazali belajar ilmu fikih, ushul, jadl, mantiq, kalam, dan filsafat. Pada saat inilah Ghazali, sang pemikir, mulai menelurkan karya-karyanya.[3]
Setelah Imam al-Haramain meninggal dunia (478 H/1085 M) Ghazali pergi ke majlis Wazir Nidham al-Mulk al-Saljuqi, yakni Wazir dari Sultan Maliksyah di Naisabur. Sang Wazir sangat takjub akan ilmunya, terkhusus ilmu kalam dan filsafat yang ia kuasai. Hingga Sang Wazir meminta Ghazali untuk mengajar di Madrasah Nidhamiyah yang terletak di kota Baghdad. (484 H/1091 M).[4]
Muridnya sangat banyak, diantaranya terdapat sekitar tiga ratus pembesar ulama ikut belajar kepadanya, karena takjub akan ketinggian ilmu Sang Imam.[5] Disitu Ghazali mendapatkan kemasyhuran, hingga seorang Abdul Ghaffar bin Ismail al-Farisy berpendapat bahwa; saat itu Ghazali patut untuk menyandang gelar sebagai Imam bagi Khurasan dan Irak.

Pergulatan Sang Pemikir
Di Baghdad inilah Ghazali benar-benar serius dalam mendalami filsafat. Ia pelajari filsafat-filsafat pendahulunya seperti Farabi dan Ibnu Sina. Setelah merasa cukup dalam mempelajari filsafat, ia menulis buku "Maqâsid al-Falâsifah" sebagai antitesis dari buku-buku filsafat yang telah dibacanya. Kemudian di lanjutkan dengan menulis buku terkenalnya "Tahâfut al-Falâsifah".
Tujuan pokok ditulisnya buku-buku ini, adalah untuk menghancurkan metode aqliyyah yang di pegang para filosof. Akan tetapi dia tidak menolak filsafat-filsafat itu secara keseluruhan, karena dalam pandangannya, terdapat pendapat-pendapat filosofis yang tidak bertentangan dengan agama.[6]
Di Baghdad ini pula terjadi pertentangan di hati Sang Imam , ia berpikir untuk tidak mengajar lagi. Saat itu adalah masa jayanya. Namanya harum bagaikan kasturi, hidupnya bergelimang harta dan kedudukan. Setelah mengalami kebingungan dan kegelisahan yang cukup lama, mempertahankan kenikmatan dunia atau menapak jalan menuju amal-amal keakhiratan, ia memutuskan untuk meninggalkan baghdad (1095 M).
Ungkapannya dalam menggambarkan kegelisahan hatinya;

“Kutelisik diriku, ternyata diriku telah tenggelam dalam berbagai kebergantungan, kebergantungan itu telah meliputiku dari segala arah. Kulihat apa yang telah kuperbuat selama ini, kudapati, terbaik yang pernah kulakukan hanyalah belajar atau mengajar. Tapi, kebanyakan dari itu semua adalah ilmu-ilmu yang tidak berguna bagi akhiratku”.[7]
“Terus terjadi di diriku, pertarungan dua keinginan. Mempertahankan kenikmatan dunia yang telah kudapat, atau mengikuti nuraniku, untuk menerima panggilan, menapak jalan ke arah Tuhan. Kurang lebih enam bulan, mulai dari bulan Rajab tahun 488 H. Pada bulan ini, usahaku untuk memilih telah mencapai titik klimaks. Aku kesakitan. Allah membungkam mulutku, hingga tak lagi ada kemampuan untukku mengajar.
Pada suatu hari, aku memaksa diriku untuk keluar, berdebat dengan orang-orang yang tidak bersesuaian pendapat denganku, seperti kebiasaanku yang telah lalu. Berharap mereka tentram setelah kujawab. Tapi ternyata, aku tidak mampu untuk mengucap sepatah kata pun, sama sekali tak mampu. Hingga akhirnya, akupun tak lagi bernafsu untuk makan dan minum.
Tabib yang merawatku berkata: Ini adalah penyakit yang datangnya dari hati. Tidak ada obatnya, kecuali hanya dengan mengistirahatkan segala kepedihan yang menyakitkan. Setelah tubuhku cukup sehat, dan keputusan telah kudapat, aku penuhi panggilan Allah untuk menapak jalan kepadanya, tanpa keraguan lagi. Maka mudahlah bagi hatiku, untuk meninggalkan segala kedudukan, harta, anak-anakku, juga sahabat-sahabatku”.[8]

Ghazali berani mengambil keputusan ini, setelah yakin bahwa hakikat dari keimanan dan kebenaran tidak akan di dapat oleh orang yang hatinya dipenuhi oleh keinginan untuk mendapatkan kedudukan, harta, serta perasaan cinta terhadapnya.[9]
Melepaskan segala keraguan, pada bulan Dzulqa'dah 488 H, Ghazali bertolak dengan niat melaksanakan ibadah haji. Sampai di Damaskus pada permulaan tahun 489 H. Sementara waktu ia menetap disitu selama sepuluh tahun. Kemudian menuju al-Quds, ke Kairo, dan hinggap di Iskandariah. Selama itu ia hanya sibuk dalam pensucian diri, membersihkan hati dengan selalu mengingat Allah Swt. Dimanapun berada.
Ghazali kembali ke Baghdad, tetapi di Baghdad sama sekali tidak mengajar seperti kebiasaannya dulu; sebelum melakukan perjalanan mencari Tuhannya. Hingga Wazir Fakhr al-Mulk memintanya untuk mengajar di Nidhamiyah Naisabur. Ia terima permintaan Sang Wazir, tapi tidak lama, setelah satu tahun berada di Naisabur, ia beranjak menuju Thus tempat kelahirannya. Ia memutuskan untuk menetap di situ, selama itu kesibukannya hanya beribadah dan mengajar hingga wafatnya (505 H /1111 M). [10]
Dari perjalanannya dalam mencari kebenaran sejati, dapat disimpulkan bahwa masa kehidupan intelektual Sang Imam terbagi menjadi tiga fase:
Pertama: Masa mulainya keraguan; saat ia mulai dalam pengembaraan intelektual. Sebagaimana ungkapan Ghazali, bahwa kegelisahan dirinya akan hakikat kebenaran, bermula dari saat mudanya.[11]
Kedua: Masa memuncaknya keraguan; saat itu ia mengalami kebimbangan akan semua kebenaran, dalam waktu yang cukup panjang. Suatu pergolakan jiwa yang tentunya sangat menyiksa dirinya. Sebagaimana dinyatakan Ghazali dalam “al-Munqidh Min al-Dhalâl”, bahwa masa itu, ialah masa giatnya menulis tentang ilmu kalam, kritik filsafat, dan kritik mazhab al-ta'lim (bâthiniyyah). Saat itu, ia sedang mengajar di madrasah Baghdad tentang ilmu syariat . Tidaklah mengherankan kalau ia mengalami kebingungan dan kegelisahan yang dahsyat. Karena disitu ia sering mengaduk-aduk, memilah-milih kebenaran dan kesesatan yang ada dalam filsafat dan madhab-madhab lainnya, hal ini mengakibatkan terombang-ambingnya metode berpikir Sang Pemikir ini. Sedangkan di sisi lain ia adalah seorang yang ahli dalam ilmu syariat.[12] Kebingungan seperti ini sering pula terjadi pada para pemikir lainnya. Diantaranya Abu Abdillah Muhammad bin Abdul karim al-Syahrastani, Abu al-Ma'ali al-Juwainy, al-Khoufajy, Imam al-Razi.[13]
Ketiga: Masa selesainya pencarian; apa yang dicarinya selama perjalanan itu telah ia dapati, hatinya pun tenang, tidak gelisah lagi.[14]

Politik Dan Cendekiawan Di Seputar Sang Ilmuwan
Masa hidup Ghazali adalah masa yang sangat gemilang dalam percaturan keilmuan di dunia Islam. Para pelajar berbondong-bondong menghadap para guru untuk mengeruk ilmu dari mereka. Penuh semangat dan gairah. Segala macam keilmuan berkembang dengan pesat, terkhusus filsafat. Bukan semata-mata karena ingin menjadi ilmuwan yang berguna, menimba ilmu hanya lillâh; karena banyak juga ketertarikan mereka yang lebih di recohi oleh keinginan-keinginan lain. Walaupun ada yang murni, ikhlas.
Adalah, keinginan untuk pangkat dan kemasyhuran, dekat dengan para pejabat kala itu, Ghazali pun terseret juga dalam ambisi seperti ini, hingga akhirnya ia taubat, dan memperbaiki niat.[15] Terdapat sedikit sekali yang benar-benar ikhlas dalam perjuangan mereka menuntut ilmu. Di arah lain, para pembesar negeri pun membutuhkan bantuan ulama untuk mencapai maksud-maksud mereka terhadap rakyat. Karena saat itu, agama adalah faktor utama kekuatan penguasa dalam menjaring ketundukan rakyat. Wal hasil simbiosis mutualisme pun terjadi, setepuk dua tangan, lalat pun kena.[16]
Menurut sejarawan, perkembangan filsafat Islam dibidani oleh madhab Mu'tazilah, sebuah madhab yang terkenal dengan madhab olah pikir. Madhab ini mencoba untuk mengkomparasikan antara agama dan akal, pada agama Islam. Dalam membedah akidah-akidah agama dan membantai musuh-musuhnya, mereka menggunakan piranti filsafat yang mereka adopsi dari filsafat Yunani juga selainnya, sebagai alat justifikasi bagi kebenaran pendapat mereka dan kesalahan pendapat musuhnya.
Hal itu bisa terjadi, dikarenakan gerakan penterjemahan dengan agresif-nya tengah merambah dunia Islam. Karya-karya Aristoteles “Sang Mu’allim al-Awwal” juga para filosof lainnya, di terjemahkan dari bahasa Greek ke bahasa Arab. Baik secara langsung dari bahasa Yunani ke bahasa Arab, maupun dari bahasa Suryani. Karena sebagian besar buku-buku filsafaat Yunani telah di terjemahkan ke bahasa Suryani sebelum dunia Arab giat dalam penterjemahan.
Setelah dunia Islam menelan berbagai filsafat Greek, terbagilah cara berpikir cendikiawan Islam menjadi tiga kelompok besar:
Pertama: Kelompok yang sangat fanatik terhadap filsafat Yunani, terutama filsafat Aristoteles. Hingga sampai meletakkan akidah agama dibawah bangunan filsafat ini. Menjadikan filsafat sebagai pondasi dan agama sebagai peng “iya” darinya.
Kedua: Kelompok pembela “terlalu” setia terhadap akidah “muslim”. Mereka sangat memusuhi para pengikut filsafat Aristoteles. Akan tetapi, dalam pembelaan terhadap akidah “Islam”, mereka juga menggunakan filsafat sebagai alat bantunya. Hingga, kesibukan mereka terhadap filsafat, berefek sangat besar terhadap masuknya nadhriyyât al-ilmiyyah dalam ilmu kalam, seperti nadhriyyât “jauhar al-fard”, ini mereka ambil dari filsafat naturalisme Yunani. Bahkan terkadang lebih lebar lagi dalam pembahasannya. Disebabkan penggunaan filsafat itu diarahkan untuk tujuan-tujuan keagamaan mereka, maka harus disesuaikan dengan kebutuhan mereka pula.
Ketiga: Kelompok sufiyyah (dalam eksistensinya sebagai sebuah metode yang berpegang kepada prinsip-prinsip tertentu). Muncul sebagai antitesis dari kedua kelompok yang telah muncul terdahulu. Mereka berpendapat bahwa perdebatan filosofis (jadl al-falsafi al-kalâmî), tidak akan pernah bisa mencapai pengetahuan tentang kebenaran. Pengetahuan yang benar hanya bisa dicapai dengan ibadah ‘amaliyyah, kasyf al-bâthinî dan musyâhadah al-mubâsyarah.[17]

Ghazali Diantara Tiga Mainstrem Pemikiran
Pada saat terjadinya pertarungan sengit antara tiga mainstrem pemikiran itu, Ghazali tampil sebagai seorang juri di tengah-tengah pertandingan. Ia berusaha me-nengah-nengahi, antara filosof, mutakallimin, dan para sufi. Ia tidak menundukkan agama dibawah kaidah dan hukum akal secara total. Tidak mendudukkan akal dibawah akidah agama, sedangkan akal hanya berfungsi sebagai penjustifikasi dari dalil-dalil agama yang telah ada. Juga tidak menafikan akal, sebagaimana dilakukan para sufi kala itu. Justru ia malah membuat sebuah metode baru dalam tasawuf, dengan menyeimbangkan antara ilmu dan amal, antara berpikir dan kasyf al-bâthinî secara bersamaan.
Akan tetapi, metode Ghazali dalam penyeimbangan antara ilmu dan amal, antara berpikir dan kasyf al-bâthinî ini, menurut penulis terdapat keganjilan di dalamnya. Kalau kita mengandaikan penggunaan pikiran disertai kasyf al-bâthinî, dikhawatirkan terjadinya kesalahan penafsiran dalam wujud kasyf al-bâthinî-nya. Karena kuatnya berpikir seseorang mampu untuk membuat imajinasi yang menguatkan kedudukan akal. Sehingga entitas kasyf al-bâthinî itu sendiri menjadi tidak orisinil lagi. Seperti seorang yang sering mengingat-ingat akan seseorang yang telah meninggal, mampu mengakibatkan ia bertemu dengan orang tersebut dalam mimpinya. Bahkan saat memuncaknya kerinduan, orang itu bisa terwujud di depan matanya.
Ia tidaklah mengingkari kebenaran ilmiah, baik berhubung dengan kenyataan natural (thabî’iyyah) maupun ilmu pasti (riyâdhiyyah). Akan tetapi, dia hanyalah membatasi akal dalam ke-ikut campuran-nya mengotak-atik akidah agama. Tidak menggunakan secara total, juga tidak membuang semuanya. Menempatkan keduanya dalam posisi yang berlainan; ilmu berpegang kepada akal, sedangkan akidah agama memancar (yanba’u) dari hati. Jadi ada sekulerisasi antara ilmu dan akidah agama. Dengan begitu ia berpendapat bahwa, =hati (al-qalb) tempat keluarnya iman, sedangkan akal adalah pondasi dari ilmu pengetahuan=.[18]
Dari usaha pen-sekuler-an Ghazali terhadap ilmu dan akidah agama. Menurut penulis terdapat hal yang mungkin menjadi penyebab terjadinya hal itu. Diantaranya dengan mengamati perjalanan Ghazali mulai dari muda hingga wafatnya; ia sibuk dalam pencariannya tentang hakikat kebenaran. Mungkin saja, seandainya Ghazali tidak wafat saat itu; ia akan menelurkan ide lain lagi, yang mungkin akan dia anggap sebagai kebenaran yang lebih benar dari kebenaran yang telah di dapatnya. Atau bisa dibilang ia sedang mengalami “evolusi kebenaran”. Karena merasa tidak menemukan titik temu dalam pengkomparasian antara ilmu dan akidah agama, maka dia berkesimpulan bahwa agama dan ilmu haruslah dipisahkan. Antara keyakinan dan pengetahuan berada di tempat yang berbeda.
Setelah mengkaji filsafat-filsafat pendahulunya, Ghazali berkesimpulan bahwa:
A. Terdapat pemikiran yang wajib di kafirkan. Diantaranya pendapat filosofis yang menyatakan bahwa, jasad manusia tidak akan di hidupkan kembali, Allah hanyalah mengetahui hal-hal kulliyyât, tidak mengetahui yang juz’iyyât, alam bersifat dahulu (qadîm).[19] Dalam hal ini, dengan radikalnya Ghazali mengatakan bahwa orang yang berkeyakinan seperti ini, wajib dibunuh;[20]
B. Pemikiran yang wajib dianggap sebagai bid'ah;
C. Pemikiran yang memang benar adanya, tidak boleh di ingkari. Diantaranya ilmu pasti (riyâdhiyyah) dan ilmu logika (mantiq).[21]
Menurutnya terdapat sangat banyak kerancuan dalam filsafat, hingga tidaklah mungkin tercapai kebenaran dengannya. Dapat dilihat, setiap jawaban dari pertanyaan filosofis selalu berbenturan dengan jawaban lainnya. Lalu mana yang benar diantara itu semua ? Benturan antar jawaban sebenarnya disebabkan filsafat itu sendiri hanyalah merupakan ketepatan dalam menyusun strategi, untuk mendudukkan kebenaran dalam posisi filosof itu sendiri.[22]
Sedangkan ilmu yang benar-benar “benar” menurutnya adalah, ilmu yang dengannya kita mampu untuk sampai pada derajat yakin (‘ilmu al-yaqîn). Sedangkan ‘ilmu al-yakîn sendiri adalah, ilmu yang dengannya obyek kajian benar-benar menjadi bisa di mengerti tanpa disertai sedikitpun keraguan, juga tidak disertai oleh kesalahan maupun salah sangka. Sebaliknya setiap ilmu yang tidak sampai derajat ini tidaklah dapat di sebut sebagai ‘ilmu al-yakin. Ilmu seperti ini adalah, ilmu yang tidak bisa dipercaya dan tidak aman untuk dibuat sebagai pegangan.[23]

Akal Dan Syariat Dalam Perspektif Ghazali
Mengawinkan akal dan syariat Tuhan, merupakan hal yang melelahkan. Keterjebakan selalu menganga, sedikit lengah akan terjerumus dalam jurang ke-totaliter-an. Dalam perspektif Ghazali, akal dan syariat, selamanya akan saling bergandeng tangan, tidak akan pernah saling menjatuhkan. Bagaikan lampu dan minyak (tenaga lampu). Tanpa akal, syariat tidak akan bisa di pahami artinya. Begitu juga akal, apabila tanpa syariat maka akan semakin jauh dari kebenaran. Jadi, mutlak adanya keselarasan dua sisi. Karena, eksistensi dari syariat itu sendiri sebenarnya merupakan akal luar (‘aql al-khârij), apabila akal luar dan akal dalam bersatu, itulah manifestasi dari "nûr ‘ala nûr".
Sebenarnya, kedudukan akal itu sendiri tetap akan sering membutuhkan tuntunan syariat untuk dapat mencerap kebenaran sejati. Karena batas kemampuan akal hanyalah sampai untuk mencerap kebenaran universal saja, tanpa kemampuan mencerap kebenaran partikular. Ringkasnya, =akal tidak akan pernah bisa berfungsi sebagai pencerap kebenaran partikular dalam syariat. Sedangkan syariat terkadang datang untuk menetapkan kebenaran yang sebenarnya akal sendiri telah mampu untuk mencerap kebenarannya=.[24]
Hampir di setiap bidang ilmu yang dikaji Ghazali, selalu berada dalam koridor pembahasan syariat dan agama. Terlihat, tujuan utamanya memang untuk menyelamatkan agama dari pemikiran-pemikiran "hitam" masa itu. Dapat diambil kesimpulan; ideologi Ghazali dalam pengkorelasian antara akal dan agama adalah =akal hanya menempati posisi sebagai pembantu dalam pemahaman agama, dan bukan sebaliknya=, alias syariat tidak perduli akan kegelisahan akal.
Padahal akal, menurut penulis; adalah yang paling utama dalam pembahasan tentang syariat. Justru syariat yang telah ada hanyalah sebagai pembantu dalam usaha pencapaian terhadap kebenaran. Karena bagaimanapun juga, Tuhan menunjuk manusia di muka bumi ini pasti telah disertai modal kemampuan untuk merealisasikan tugasnya.[25] Syariat diturunkan hanyalah sebagai contoh (i’tibâr) di saat carut-marutnya pemahaman (pola pikir) tentang kebenaran. Mudahnya, =syariat dimungkinkan pembekuannya di saat kemaslahatan menghendaki kenyataan lain, dan tetap dipakai di saat kenyataan yang ada sesuai dengan jawaban dalam syariat=.
Ghazali menyatakan bahwa bukan hanya akal, yang dibatasi kemampuannya dalam mencerap kebenaran sejati. Panca indera pun sering tertipu oleh apa yang telah dicerapnya. Cerapan panca indera belum tentu benar adanya. Seperti saat kita memandang bintang dilangit, kita melihatnya sebagai benda yang sangat kecil, yang tidak lebih besar dari kepingan logam uang. Akan tetapi, kemudian ilmu astronomi membuktikan kepada kita bahwa bintang-bintang itu sangat besar, lebih besar dari bumi yang kita tempati ini. Contoh kesalahan dari cerapan akal adalah; saat tidur kita bermimpi, saat itu kita meyakini bahwa apa yang kita lihat dalam mimpi itu adalah suatu kebenaran, akan tetapi kemudian kebenaran itu sirna disaat kita terbangun dari tidur.[26]
Oleh karena itu, dalam mencerap kebenaran, menurut Ghazali dibutuhkan timbangan yang ia sebut sebagai "Qisthâs al-Mustaqîm". Adalah lima timbangan yang telah diberikan Alah kepada manusia melalui kitabnya, dan telah diajarkan kepada para Nabi. Tetap menurutnya, bahwa barang siapa beramal dengan mizân ini, maka ia akan mendapat petunjuk. Hingga dapat mencapai kebenaran yang hakiki. Tapi, barang siapa lebih mengunggulkan pendapat akalnya, maka ia akan tersesat dan jauh dari kebenaran. Qisthâs al-Mustaqîm yang di klaim Ghazali sebagai manhaj-nya itu tertera dalam al-Qur'an Surat al-Rahman: 1-4 dan 7-9, Surat al-Hadid: 25.
Mizân ini, sebagaimana diungkapkannya dalam buku “al-Mustashfâ” adalah qiyâs al-ilmy atau burhâny, akan tetapi dia tidak menggunakan lafadz qiyâs dalam mengistilahkan mizân ini. Karena qiyâs dalam pemakaiannya secara umum telah kehilangan dalil-dalil ilmiahnya. Sebagaimana qiyâs yang di gunakan para mutakallimin dalam membahas masalah fikih. Mereka cenderung menggunakan dalil-dalil dhanny, dengan berdasar persangkaan pikiran akan suatu kebenaran. Qiyâs seperti ini dalam pandangannya tidak selamat untuk digunakan membahas suatu permasalahan, karena hanya akan mendapatkan hasil yang dhanny pula.
Mizân ini tidak hanya bisa di gunakan sebagai timbangan dalam hal-hal yang berhubungan dengan olah pikir saja. Bahkan lebih jauh, menurutnya dapat digunakan pada hampir semua cabang keilmuan, seperti ilmu pasti, dan kedokteran. Akan tetapi, tidak dapat diterapkan pada hukum wadh'i .[27]

Sebab Akibat Dalam Perspektif Ghazali
Pergumulan manusia dalam mengarungi hidup, akan selalu berhadapan dengan berbagai kejadian. Semua kejadian di alam ini, layaknya pemahaman konvensional; tentunya tersusun dari berbagai premis-premis kejadian yang teratur, ada akibat, tentunya ada sebab yang melatarbelakanginya. Akan tetapi, pemahaman konvensional ini, menurut Ghazali sama sekali tidak benar. Menurutnya, hukum sebab-akibat itu tidak ada, dengan uraian bahwa terjadinya sesuatu itu tanpa perlunya suatu sebab.
Sebagaimana khawâriq al-‘âdah yang dialami oleh Ibrahim As. Beliau tidak terbakar api. Kejadian ini menurutnya disebabkan, esensi api itu sendiri sebenarnya hanyalah benda mati, yang tidak bisa melakukan sesuatu. Eksistensi api dalam kemampuannya membakar, hingga membuatnya menjadi sesuatu yang berakibat adalah karena kehendak Dzat yang menjalankan api itu, yakni Allah. Apabila kemampuan membakar dari api itu dicabut oleh-Nya, maka api itu tidak akan mampu membakar apapun. Jadi, suatu keadaan yang biasanya suatu hal menjadikan terjadinya keadaan tertentu, tidaklah menunjukkan atas akan terjadinya sesuatu. Sedangkan untuk kejadian yang mengakibatkan kejadian lain dalam kenyataan sehari-hari Ghazali lebih setuju untuk menyebutnya sebagai “âdah” atau kebiasaan.[28]
Pendapat ini senada dengan David Hume,[29] seorang pemikir pada abad ke 18 M. Dia juga berpendapat bahwa, teori sebab akibat adalah teori yang belum cukup untuk membuktikan bahwa, kejadian pertama menjadi ‘illah bagi terjadinya kejadian kedua.[30]
Akan tetapi, pendapat seperti ini ditolak keras oleh Ibnu Rusyd (w. 595). Menurutnya, orang yang mengingkari adanya teori sebab-akibat berarti menyingkirkan akal, yang berarti juga memusnahkan ilmu. Kalau memang runtutan kejadian yang terjadi di alam ini lebih patut untuk disebut ‘âdah; yang menurut Ghazali lain dengan sebab-akibat. Maka, adanya Allah pencipta alam raya ini juga ‘âdah. Justru hal itu mustahil, karena ‘âdah adalah suatu kejadian yang adanya karena dikerjakan secara berulang-ulang.[31]
Dalam kacamata penulis, penafian Ghazali terhadap realitas sebab-akibat adalah lebih disebabkan oleh konsep awal dalam pemahamannya terhadap diskursus “takdir”. Kenyataan ini, tentunya juga sangat menentukan perkembangan arah berpikirnya. Sebagaimana dipahami oleh banyak sejarawan bahwa, dalam Ushuluddin ia lebih dekat kepada Asy’ariyyah daripada yang lain. Tersirat dalam buku “Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah”-nya Asy’ari bahwa kejadian yang ada di dunia ini semuanya telah di tentukan oleh Allah dari semulanya, jadi tidak ada kemampuan manusia untuk mengotak-atik nasibnya sendiri; manusia hanyalah wayang yang di jalankan oleh dalang.[32]

Tuhan, Manusia, Dan Kenabian
Pertanyaan yang akan sering di dengar, saat kita mulai menginjak dunia para filosof adalah; Siapa pencipta alam ? Siapa itu Tuhan? Apakah Tuhan ada ? Dapatkah Tuhan dibuktikan ? Untuk menjawab pertanyaan ini, Ghazali telah menyediakan metode yang mampu untuk membuktikan adanya Tuhan.
Menurut Ghazali, jauhar al-insân pada saat ketitahnya tercipta sebagai individu yang sama sekali tidak dibekali pengetahuan tentang Tuhan. Untuk bisa mengetahuinya, manusia diharuskan untuk mempelajari alam ini dengan daya pemahaman (idrâk), yang telah di berikan oleh Allah kepadanya. Terdapat empat tingkatan idrak dalam pandangan Ghazali;
Pertama: Kemampuan untuk mengindera alam inderawi ini (tingkatan terendah). Kedua: Kemampuan untuk membedakan diantara hal-hal yang telah di cerap oleh indera manusia. Ketiga: Akal, dengannya manusia mampu membedakan antara perkara wajib, mungkin, ataupun mustahil. Keempat: Tertinggi, adalah apa yang ada dibalik kekuatan akal. Yaitu kemampuan untuk mencerap hal-hal ghaib, dan apa yang akan terjadi pada masa mendatang. Kemampuan ini, merupakan pengetahuan para Nabi.[33]
Pengetahuan manusia tidak sempurna tanpa sempurnanya keempat macam idrâk ini. Untuk dapat mencerap kebenaran sejati, kemampuan manusia tidaklah cukup, karena hanya sampai pada tingkatan ketiga. Sedangkan idrâk keempat hanyalah diberikan kepada para Nabi. Manusia hanya dapat mengetahuinya dari keterangan yang telah diberikan oleh para Nabi. Sebab, risalah dan kenabian bukanlah suatu hal yang bisa dicapai dengan usaha, itu adalah pemberian langsung dari Allah Swt. Walaupun sebelum menjadi Nabi, sang Nabi-pun telah mempunyai kesiapan dalam dirinya untuk mendapatkan "cahaya" kenabian.[34]
Mudahnya, derajat kenabian merupakan derajat yang lebih tinggi dari derajat manusia umumnya. Sebagaimana "ke-manusia-an" itu sendiri merupakan derajat yang lebih tinggi dari golongan hewan. Atau bisa dikatakan, manusia diistimewakan dari hewan lainnya, dengan mu'jizat kemampuan manusia dalam berbicara, berpikir, dan menguasai hewan-hewan lainnya. Sedangkan Nabi diistimewakan dari manusia lainnya dengan mu'jizat kemampuan Nabi diatas manusia lainnya. Semua itu, menurut ketetapan Allah, sehingga tidak mungkin bisa di usahakan.[35]
Berbeda dengan Ghazali, Ibnu Sab’in berpendapat bahwa kenabian adalah hal yang bisa diusahakan. Karena, kenabian merupakan faidh (jawa: luberan) daripada akal disaat akal itu telah sampai pada titik bersihnya. Bahkan ia pernah berkata: “Ibnu Aminah (Muhammad Saw.) telah membekukan hal yang sebenarnya masih mungkin terjadi, dengan perkataannya: tidak ada Nabi setelahku”.[36]

Takwil Menurut Ghazali
Sering terjadi pengkafiran antar umat Islam sendiri, gara-gara permasalahan takwil. Pengkafiran seperti ini, terjadi pula pada masa kehidupan Ghazali. Golongan Hanabilah mengkafirkan Asy’ariah, Asy’ariah mengkafirkan Mu’tazilah. Lalu, sebenarnya golongan manakah yang kafir ? Dalam hal ini, Ghazali cenderung tidak berpendapat. Ia hanya memberikan metode dan syarat-syarat dalam pentakwilan. Dengan demikian, ia cenderung setuju untuk di perbolehkannya mentakwili ayat-ayat al-Qur’an ataupun hadits Nabi Saw.
Menurut Ghazali, semua yang telah diturunkan Allah dalam al-Qur'an, dan apa yang telah disabdakan oleh Nabi Saw. Pasti ada maknanya. Walaupun, terkadang makna dari suatu ayat atau hadits, baru bisa didapat setelah ditakwili. Dalam hal pentakwilan ini, banyak sekali perbedaan pendapat diantara para ulama. Sehingga, menyebabkan perbedaan arti pula. Untuk itu, Ghazali berusaha menyarikan arti dari suatu wujud dengan membuat tingkatan dalam wujud sesuatu. Yang kemudian, disesuaikan dengan obyek yang akan ditakwili. Ghazali membagi wujud dalam lima tingkatan:
Pertama: Wujud Dzâty. Merupakan wujud hakiki, yang terletak diluar penginderaan maupun akal. Akan tetapi panca indera dan akal, mampu untuk menggambarkannya, yang kemudian disebut "cerapan" (jawa; penemu). Seperti wujud langit, bumi, hewan, dan tumbuhan.
Kedua: Wujud Hissy. Adalah wujud yang merupakan hasil dari cerapan panca indera. Akan tetapi hanya panca indera saja, tanpa adanya ikut campur dari lainnya. Seperti melihatnya orang yang sedang tidur (mimpi)
Ketiga: Wujud Khayâly. Adalah perwujudan bentuk obyek dalam bayangan, dengan tanpa unsur penginderaan. Seperti seorang yang memejamkan matanya, kemudian membayangkan gajah dalam bentuknya yang sempurna.
Keempat: Wujud 'Aqly. Adalah, apabila sesuatu itu mempunyai esensi, hakikat, dan makna. Kemudian, akal mampu mengambil darinya eksistensi dari obyek tersebut, tanpa harus mewujudkan obyek tersebut dalam bentuk khayalan maupun dengan bantuan penginderaan, ataupun unsur-unsur eksternal darinya. Seperti pena, wujud aqliyyah-nya adalah kemampuan pena untuk di gunakan menulis.
Kelima: Wujud Syubhy. Adalah, apabila suatu obyek itu ada tanpa bentuknya maupun hakikatnya, tidak dalam unsur-unsur eksternal, tidak karena penginderaan, tidak dalam khayalan maupun akal. Seperti perwujudan kemarahan Allah Swt.[37]
Sedangkan untuk syarat-syarat takwilnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Ghazali; berawal dari apabila tidak dimungkinkan pemaknaan dhahir al-nash sebagai mana adanya (wujud dzâty), maka beranjak dengan pemaknaan menurut penginderaan (wujud hissy). Apabila tidak dimungkinkan, maka dimaknai secara khayâly atapun aqly. Apabila tetap tidak mungkin, maka menggunakan majaz (syubhy). Akan tetapi usaha pentakwilan dari pertama hingga akhir haruslah berurutan.[38]

Ghazali Dan Tasawuf
“Si Penghancur Filsafat” adalah salah satu diantara julukan Ghazali.[39] Para sufi menganggapnya sebagai “Hujjah al-Islâm”, dikarenakan jasanya yang besar dalam khasanah tasawuf. Karya-karyanya dalam bidang ini sangat banyak. Diantara buku terpentingnya adalah “Ihyâ’ Ulûm al-Dîn”. Akan tetapi, orang yang tidak sependapat dengan isi buku ini menyebutnya sebagai “Imâtah Ulûm al-Dîn”.
Terdapat perbedaan antara Ghazali dan ulama sufi kebanyakan.[40] Setelah bertahun-tahun dalam perjalanan keilmuan, ia mengalami banyak hal yang menimbulkan keraguan pada dirinya untuk mengetahui kebenaran hakiki. Kemudian ia berkesimpulan, bahwa ilmu-ilmu yang ia dapat adalah ilmu yang diwariskan secara turun-menurun tanpa ia koreksi kebenarannya. Saat itu, dalam memahami ilmu ia memang cenderung taklid, kepada ulama sebelumnya. Hingga akhirnya, ia berkeputusan untuk tidak taklid lagi. Ia kembalikan dirinya ke fithrah aslinya; tanpa keberpihakan. Karena kebenaran, tidak akan didapatkan dengan cara taklid. Kebenaran hanya akan didapatkan, melaui proses keraguan dengan meragukan segala pengetahuan yang pernah di dapat. Sebagimana yang ia katakan, “Siapa yang tidak pernah ragu, maka tidak akan pernah mencoba untuk mengamati. Siapa yang tidak pernah mencoba mengamati, maka ia tidak akan pernah tahu. Siapa yang tidak tahu, maka akan tetap dalam kebutaan dan kesesatan”.[41]
Ghazali adalah salah seorang diantara guru besar para sufi. Tapi kenapa yang ia bantai dalam sejarah pembantaian keilmuan bukan hanya filsafat saja, bahkan melebar sampai ke tasawuf ? Pertanyaan ini dijawab oleh Prof. Macdonald; dikarenakan, sekte-sekte tasawuf yang ada pada saat itu, dianggap sebagai suatu jalan menuju Tuhan yang keluar dari aturan syariat. Dapat dilihat dari pengajaran Ghazali tentang tasawuf kepada murid-muridnya, selalu disesuaikan dengan aturan syariat. Hingga kaum sufi sepeninggal Ghazali, mendapatkan tempat yang tinggi diantara muslim Sunny. Bahkan, hampir semua aliran dalam Islam.[42]
Selain sebagai seorang konseptor dalam teori-teori tasawuf, Ghazali juga seorang praktisi. Ini terlihat dari apa yang dikerjakannya semasa ‘uzlah. Selama sepuluh tahun, ia bolak-balik antara bait al-muqaddas dan haji di baitullah. Kemudian i'tikaf di masjid Umawi yang berada di Damaskus. Disitu, ia menulis bukunya “Ihyâ’ Ulûm al-Dîn”, yang terbilang sebagai referensi penting dalam ilmu tasawuf.
Menurut Mahmud al-Marakibi; disaat Ghazali melakukan ‘uzlah, hal yang paling mengherankan darinya adalah, mengapa ia tidak menyibukkan diri dengan urusan umat Islam (!). Sedangkan saat itu, umat Islam sedang sibuk-sibuknya menahan serangan pasukan salib, hingga akhirnya bait al-muqaddas terlepas dari umat Islam, jatuh ke tangan pasukan salib (492 H). Justru di pengasingannya ia asik mengarang Ihyâ’ Ulûm al-Dîn meninggalkan Daulah al-Dîn. Yang lebih mengherankan lagi, Ghazali sama sekali tidak menulis buku tentang jihad serta pahalanya, juga keutamaan para mujahiddin dan kedudukannya dalam agama.
Apakah tidak mengherankan (!), Ghazali adalah seorang Hujjah al-Islâm. Setelah bait al-muqaddas jatuh ketangan pasukan salib, ia hidup selama 12 tahun. Dan selama itu, ia sama sekali tidak menyinggung-nyinggung kejadian itu dalam bukunya.[43] Apa yang dilakukannya itu bertentangan dengan apa yang telah di tulisnya dalam penjelasannya tentang sufi. Karena, menurut Ghazali seorang sufi itu harus mempunyai dua karakter: Pertama; Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah. Kedua; Berbuat baik kepada manusia. Tidak mementingkan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Akan tetapi, mengorbankan diri sendiri untuk orang lain, selama tidak bertentangan dengan syariat.[44]
Satu hal lagi yang sangat di soroti Marakibi adalah, olehnya membagi ilmu ke dalam dua bagian; lmu dhahir dan ilmu batin .[45] Walaupun ia menjelaskan bahwa antara dhahir dan batin selamanya siiring setujuan.[46] Tetap saja pembagian itu berbahaya, karena mampu menyebabkan perkembangan kearah fana', baqa', hulûl, dan akhirnya wihdah al-wujud (jawa; manunggaling kawula kalawan gusti).[47]
Menurut Ghazali, makna ilmu dalam koridor kemampuannya menuntun manusia kejalan mukâsyafah, dibagi menjadi dua : Pertama; Ilmu ‘amaly, yaitu ilmu yang berhubungan dengan tata cara dalam melakukan suatu perbuatan. Kedua; Ilmu nadhary, seperti pengetahuan tentang keadaan jiwa, pada hal-hal keakhiratan.[48]
Ghazali menganggap bahwa ilmu tharîq al-sulûk, atau ilmu untuk ma’rifah kepada Allah sebagai ilmu tertinggi dari ilmu lainnya. Dikarenakan, ilmu lainnya seperti fikih dan kalam, hanyalah alat untuk sulûk. Ilmu-ilmu itu mengarah kepadanya. sedangkan ilmu tharîq al-sulûk tidak mengarah kepada yang lainnya. Secara otomatis, posisi ilmu tharîq sulûk berada di titik puncak perjalanan keilmuan.[49]
Setiap orang pasti mempunyai syahwat. Syahwat ini sering-sering menimbulkan malapetaka, jika empunya syahwat tidak bisa mengontrol dan mengalokasikannya dengan baik. Dalam pandangan Ghazali, syahwat tidak selamanya jelek. Asal sesuai dengan kedudukan masing-masing, maka syahwat itu sah-sah saja. Orang-orang yang ‘ârif billah pun mempunyai syahwat, yakni syahwat untuk ma’rifatullah. Syahwat ini tidak beda dengan syahwat anak kecil untuk bermain, syahwat orang akan kedudukan. Akan tetapi, syahwat seorang yang ‘ârif billah, tidaklah seperti syahwat lainnya. Karena, makin dekat seseorang kepada Allah, akan semakin bertambah pula rasa syahwat itu, bukannya malah berkurang. Berbeda dengan syahwat lainnya.[50]
Dalam ajaran Ghazali tentang ilmu tasawuf, terdapat beberapa hal yang menurut Abu Bakar Ibnu al-‘Arabi (bedakan dengan Ibnu ‘Arabi), muridnya sendiri; sebagai tharîq al-sulûk yang keluar dari aturan syariat diantaranya dalam diskursus al-kasyf. Itu disebabkan, karena Ghazali pernah masuk dalam dunia para filosof, kemudian ia berusaha untuk keluar darinya, akan tetapi tidak mampu. Sehingga hal itu ber-atsar terhadap teori-teori tasawuf yang ia kembangkan.[51]

Kejeniusan Ghazali
Kejeniusan Ghazali diakui dunia. Ia dianggap sebagai seorang yang telah berhasil membuat madhab istimewa, karena kemampuannya mengkompilasikan agama, akhlaq, filsafat, dan ilmu jiwa dalam satu wadah.[52] Sebagaimana di ungkapkan seorang pemikir berkebangsaan Perancis, E. Renan dalam “Histoire g enerale et systeme compare des langues Semitiques” bahwa "Ghazali adalah salah seorang diantara para filosof muslim yang mampu membangun aliran khusus dalam pemikiran filsafat". Sedemikian besarkah penghormatan Renan, yang nota-benenya dia pula orang yang pernah berkata “filsafat Arab tidak lain, tidak bukan, hanyalah filasafat Yunani kuno yang ditulis dengan huruf Arab (?)”.[53]
Pergulatan Ghazali dengan berbagai macam keilmuan, turut serta mengambil saham dalam pembentukan madhab khusus yang ia dirikan. Walaupun dalam pengaturan porsinya, kentara bahwa tasawuf berada di tempat paling utama.[54] Ia gunakan pula ilmu logika yang sejalur dengan cara berpikirnya, ilmu logika itu “sedikit dipaksa” untuk menterjemahkan pemahaman-pemahaman tentang keagamaan. Penggunaan ilmu logika dalam membedah permasalahan agama ini sangat terlihat di pelbagai bukunya. Walaupun terkadang ia harus membingkai logikanya dalam frame agama; dikarenakan umat Islam saat itu menganggap orang yang berbicara tentang logika sebagai seorang filosof.[55]
Tidak mengherankan jika ia mendapat kehormatan sebesar itu, sebab kalau kita amati, diantara pendapat Ghazali terdapat pendapat yang sangat mirip dengan pendapat filosof setelahnya, yang hidup di Eropa pada masa renaisance. Hal ini membuktikan bahwa ia selangkah lebih maju dari filosof lainnya. Diantaranya Dekaart (Descartes), seorang filosof Perancis pada abad ke-17 M, Deekart ini membangun filsafatnya atas asas yang juga pernah dibangun oleh Ghazali,[56] yaitu; meragukan panca indra dan akal, untuk mencapai kebenaran sejati.[57] Atau, meragukan segala sesuatu untuk mendapatkan keyakinan yang sejati.[58] Bisa juga dengan menolak segala keyakinan untuk mendapatkan keyakinan yang benar.[59]
Hal lain yang menunjukkan atas keluasan ilmunya ialah, retorika yang ia pakai dalam membuktikan kebenaran adanya pencipta alam raya dengan segala kekuasaannya, tidak terbatas pada hal-hal disekitar filsafat. Bahkan lebih jauh, dengan menunjukkan pelbagai macam keajaiban alam, yang penuh dengan hikmah-hikmah sains. Walaupun dalam percontohannya terbatas pada hal-hal yang sesuai dengan perkembangan sains masa itu.[60]
Metode ini pula yang telah di pakai oleh Harun Yahya dalam usahanya memberantas berkembangnya “Teori Evolusi”.[61] Akan tetapi, metode seperti ini dikhawatirkan penggunaannya. Sebab, fakta-fakta yang telah didapat terkadang dapat terhapus oleh fakta yang datang pada masa yang akan datang.

Buah Tangan Sang Imam
Ghazali terkenal sebagai seorang penulis yang handal, buah karyanya sangat banyak, melingkupi berbagai cabang keilmuan, fikih, kalam, filsafat, tasawuf, hikmah, bahkan psikologi pun tidak ketinggalan. Menurut Ahmad Syamsuddin, buku yang ditulis Ghazali lebih dari 200 buah, walau diantaranya terdapat buku yang diragukan akan penisbatan buku itu terhadapnya. Diantara buku-bukunya yang terpenting adalah al-Munqidh Min al-Dhalâl, Ihyâ Ulûm al-Dîn, Maqâsid al-Falâsifah , Tahâfut al-Falâsifah, dan Mi'yâr al-Ilmi.[62]
Kalau kita simak setia inci dari tulisan Ghazali, kita akan temukan bahwa dalam tulisannya tersirat emosinya sebagai seorang pencari kebenaran. Tulisan yang penuh ruh, menggambarkan perasaan hatinya saat menulis buku-buku itu; hal yang jarang dipunyai oleh penulis-penulis lain. Tulisan yang bukan cuma berisi retorika penyampaian belaka, akan tetapi benar-benar penuh dengan gejolak hati yang menguasainya saat itu.
Para pengkaji yang membuka buku-buku Ghazali tanpa mengetahui terlebih dahulu fase-fase penulisan bukunya, hampir bisa dipastikan akan kebingungan dalam menyerap epistem-epistem yang dihasilkannya. Bahkan mungkin akan menganggap Ghazali sebagai seorang pemikir yang plin-plan. Hal itu disebabkan perubahan idealime yang Ghazali pegang selalu beriring dengan pergulatan dalam kehidupan yang ia alami. Metode berpikirnya sering mengalami perubahan, hasil dari serapan-serapan baru dari dinamika pengetahuan dan pengalamannya. Maka sangat perlu untuk mengetahui fase-fase penulisan buku-buku utamanya.
Pertama: (dari 478-484 H) bukunya "al-Wajîz".
Kedua: (dari 484-488 H) bukunya "al-Maqâshid al-Falâsifah, al-Tahâfut al-Falâsifah, al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, al-Mustadhhiry.
Ketiga: (dari 492-495 H) bukunya "Ihyâ' Ulûm al-Dîn (telah dimulai penulisannya sebelum saat itu), al-Mustashfâ, Kimiya' al-Sa'âdah, Minhaj al-‘Abidîn.
Terakhir: (dari 495-505 H) bukunya "Mi'yâr al-‘Ilmy, Mihak Nadhar, al-Maqshad al-Asnâ, al-Ajwibah al-Muskitah, Mizan al-‘Amal, Jawâhir al-Qur'ân, al-Misykat al-Anwâr, Qisthas al-Mustaqîm, Iljâm al-‘Awâm, Faishal al-Tafriqah, al-Munqid min al-Dhalâl, al-Risâlah al-Laduniyyah.[63]

Penutup
Pengetahuan serta pengalaman setiap manusia akan mempengaruhi perjalanan hidupnya. Mungkin ke arah yang lebih baik, ataupun justru kearah yang lebih buruk. Usaha mendaya-upayakan pembacaan terhadap pengalaman, adalah sebuah usaha yang sangat sulit. Keberhasilan darinya akan membentuk sebuah perkembangan sangat besar bagi orang yang melakukannya.
Begitu pun Ghazali, beriring ilmu yang ia dapati, pengalaman hidupnya selalu berpengaruh dalam kemajuan cara berpikirnya. Keberhasilannya dalam membaca kehidupan, sangat mewarnai cara berpikir, mendarah daging menggolakkan emosinya untuk sebuah pencarian dengan pengorbanan yang cukup besar.
Ghazali sosok yang sangat perlu untuk dijadikan sebagai suri-tauladan, dalam keberhasilannya mengolah emosi menjadi suatu keinginan untuk terus mencari apa yang belum di ketahuinya. Bahkan, yang sudah ia ketahui pun ia letakkan kembali untuk kemudian di pahami dengan hati-hati, di analisa dan kemudian ia susun menjadi sebuah rumus khusus, untuk ideologinya yang istimewa.
Telah cukup banyak orang mencaci-maki, bahkan mengkafirkan Ghazali karena pemikiran-pemikirannya. Akan tetapi, si pencaci tidak mampu untuk mengalahkan atau paling tidak mengimbangi Ghazali, dalam segala keberhasilannya. Banyak juga yang terlalu memuji Ghazali, hingga si pemuji terkubur oleh rasa bangga terhadapnya, tetap seperti adanya, tetap menjadi seorang yang membebek secara setia terhadap pemikiran-pemikiran yang telah di lontarkan Ghazali.
Dan semoga kita menjadi orang yang bijak...!
Wallâhu A’lam.


END NOTE
 Makalah sederhana ini, pernah dipresentasikan pada perdana acara “Kajian Tokoh” yang diselenggarakan oleh “RAKHMA”.
™ Bakul Tempe Thub Ramli, untuk pemesanan hub. 4112346/0108573397. Mahasiswa al-Azhar Fak. Dirrâsât al-Islâmiyyah wa al-‘Arabiyyah. Fans berat Bastian Tito, pengarang “Wiro Sableng 212”. Jasa beliau tidak akan terlupakan. Komiknya telah menstimulasi penulis untuk terus membaca (?).
[1] Julukan al-Ghazali mungkin diambil dari pekerjaan ayahnya, atau mungkin dari nama desa yang berada dalam wilayah Thus. Lihat, Ali Mu’awwidh & ‘Adil Abdul Maujud, dalam pengantar al-Wajîz fî Fiqhi al-Imâm al-Syâfi’i, Dar al-Arqam, Beirut, cet. I, 1997, hal. 9
[2] Dr. Sulaiman Dunya, dalam pengantar Mîzân al-‘Amal, Dar al-Ma’arif, Kairo, cet. I, 1964, hal. 7
[3] Dr. Sulaiman Dunya, al-Haqîqah fî Nadhri al-Ghazâli, Dar al-Ma’arif, Kairo, cet. II, 1965, hal. 20-21
[4] Dr. Muhammad Luthfi Jum’ah, Târîkhu Falâsifah al-Islâm, ‘Âlam al-Kutub, Kairo, 1999, hal. 67
[5] Dr. Sulaiman Dunya, dalam pengantar Mîzân al-‘Amali, loc. cit.
[6] Ahmad Syamsuddin, dalam pengantar al-Munqidh min al-Dhalâl, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1988, hal. 6-7
[7] Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl,, Ibid. hal. 59
[8] Ibid. hal. 60-61
[9] Abu Hamid al-Ghazali, Faishal al-Tafriqah baina al-Islâm wa al-Zandaqah, ditahkik oleh Hugga Musthafa, Dar al-Nasyr al-Gharbiyyah, Kairo, 1983, hal. 3
[10] Ahmad Syamsuddin, op. cit., hal. 7-8
[11] Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl, op. cit., hal. 25
[12] Dr. Sulaiman dunya, al-Haqîqah fî Nadhri al-Ghazâli, op. cit., hal. 56-57
[13] Muhammad al-Sa’id Muhammad, dalam pengantar Tahâfut al-Falâsifah, Maktabah al-Taufiqiyyah, Kairo, 2003, hal. 10-11
[14] Dr. Sulaiman Dunya, al-Haqîqah fî Nadhri al-Ghazâli, op. cit., hal. 56
[15] Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl, op. cit., hal. 76
[16] Ibid. hal. 15
[17] Ahmad Syamsuddin, op. cit., hal. 3-4
[18] Ibid. hal. 4-5. Bandingkan dengan Dr. Sulaiman Dunya, al-Haqîqah fî Nadhri al-Ghazâli, op. cit., hal. 36-37
[19] Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl, op. cit., hal. 42
[20] Abu Hamid al-Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, op. cit., hal. 218
[21] Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl, op. cit., hal. 38
[22] Abu Hamid al-Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, op. cit., hal. 28
[23] Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl, pengantar dan tahkik oleh Dr. Jamil Shaliba & Dr. Kamil ‘Iyadh, Dar al-Andalus, Beirut, cet. VII, 1967, hal. 25
[24] Abu Hamid al-Ghazali, Ma’ârij al-Quds, Mathba’ah al-Isti’anah, Kairo, hal. 57
[25] Setiap doktrin agama yang terkesan tidak rasional tidaklah mununjukkan akan tidak rasionalnya agama. Hanyalah, akal belum mampu (bukan tidak mampu) untuk memahaminya. Cukup dikatakan, ilmu pengetahuan manusia saat ini belumlah cukup untuk memahami hal itu. Dan seiring perkembangan ilmu pengetahuan, dimungkinkan pemahaman akan hal itu. Seperti peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Saw.
[26] Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, op. cit., hal. 27-28
[27] Abu Hamid al-Ghazali, al-Qisthâs al-Mustaqîm, pengantar dan tahkik oleh Victor Syalhat, Maktabah al-Syarqiyyah, Beirut, cet. II, 1986, hal. 43
[28] Abu Hamid al-Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, op. cit., hal. 168-173
[29] Abdurrahman Badawi membedakan antara pendapat Ghazali dan Hume dalam penafian terhadap sebab-akibat. Ghazali mengingkari ‘illah akan semua kejadian, karena sebenarnya pelaku sejati dari semua kejadian ini adalah Allah. Sedangkan menurut Hume percobaan (tajribah) adalah satu-satunya cara untuk mengetahui sesuatu itu menjadi ‘illah ataupun tidak, dia cenderung untuk berpendapat tidak tahu siapa pelaku sejatinya. Lebih lanjut, lihat Abdurrahman Badawi, dalam Auhâm Haula al-Ghazâlî, hal. 7
[30] Dr. Jamil Shaliba & Dr. Kamil ‘Iyadh dalam pengantar al-Munqidh min al-Dhalâl, Dar al-Andalus, op. cit., hal. 16
[31] Abu al-Walid Muhammad Ibnu Rusyd, Tahâfut al-Tahâfut, diberi pengantar oleh Ahmad Syamsuddin, Dar al-Kutub al-‘Ilmyyah, Beirut, cet. II, 2003, hal. 351-352
[32] Adalah kenyataan yang ironis jika seperti itu. Penulis lebih setuju bahwa nasib manusia ada di tangan manusia itu sendiri. Campur tangan Tuhan dalam peristiwa ke-manusia-an adalah suatu nilai plus bagi manusia yang mengalaminya. Jadi, terdapat kejadian yang mengikuti iradah Tuhan (untuk ini-pun selalu mengikuti kaidah basyariyyah), dan ada kejadian yang bergantung kepada manusia itu sendiri.
[33] Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, op. cit., hal. 67. Bandingkan juga dengan Abu Hamid al-Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, op. cit., hal. 177-178
[34] Abu Hamid al-Ghazali, Ma’ârij al-Quds, op. cit., hal. 107
[35] Ibid., hal. 109
[36] Mahmud al-Marakibi, ‘Aqâid al-Shûfiyyah fî Dhou’i al-Kitâb wa al-Sunnah, Mathba’ah al-Tijariyah, Qalyub, cet. III, 1996, hal. 87
[37] Abu Hamid al-Ghazali, Faishal al-Tafriqah baina al-Islâm wa al-Zandaqah, op. cit.,hal. 8-15
[38] Ibid. hal. 18-19
[39] Julukan ini menurut sebagian pendapat tidaklah sesuai dengan kenyataan. Menurut Abdurrahman Badawi, kejatuhan filsafat Islam tidaklah bisa dibebankan kepada Ghazali, karena jejak–jejak tentang hancurnya filsafat ditangan Ghazali sangat sulit diwujudkan. Badawi telah mengkaji buku-buku yang berkaitan dengan hal itu, akan tetapi tetap saja tidak menemukan bukti yang valid untuk tuduhan tersebut. Lebih lanjut lihat, Abdurrahman Badawi, dalam Auhâm Haula al-Ghazâlî., hal. 1-3
[40] Kalau kita amati dari perkembangan tasawuf yang ada, kebanyakan lebih cenderung ke arah taklid dalam perkembangan ilmunya. Sebagaimana kalimat sufistik yang sudah masyhur, “Murid dihadapan guru, bagaikan mayit dihadapan orang yang memandikannya”. Lebih lanjut, lihat, Lajnah al-Buhuts wa al-Dirrasat bi al-Thariqah al-‘Azmiyyah, al-Shûfiyyah fî ‘Uyûn al-Salafiyyah, Masyikhah al-Thariqah al-‘Azmiyyah, cet. I, 2005, hal. 255
[41] Muhyiddin ‘Azuz, al-Lâ Ma’qûl wa Falsafat al-Ghazâlî, Dar al-‘Arabiyyah li al-Kitab, Libia, 1983, hal. 87. Lihat juga, Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl, Dar al-Andalus, op. cit., hal. 63
[42] Dr. Sulaiman Dunya, al-Haqîqah fî Nadhri al-Ghazâli, op. cit., hal. 52
[43] Mahmud al-Marakibi, op. cit., hal. 245. Bandingkan dengan Muhyiddin ‘Azuz, op. cit., hal. 74
[44] Abu Hamid al-Ghazali, Ayyuhâ al-Walad, Majmu’ah al-Rawai’ al-Insaniyyah, hal. 48
[45] Pembagian ilmu menjadi dhahir dan batin dalam pengajaran tasawuf, disinyalir oleh Marakibi sebagai pencatutan atas kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi (?) Khidhir, Musa sebagai pemilik ilmu dhahir dan Khidhir sebagai pemilik ilmu batin. Lebih lanjut lihat, Mahmud al-Marakibi, Mûsâ wa al-Khidhir, Mathba’ah al-Tijariyah, Qalyub, cet. III, 1996, hal. 46-58
[46] Mahmud al-Marakibi, ‘Aqâid al-Shûfiyyah fî Dhou’i al-Kitâb wa al-Sunnah, op. cit., hal. 246
[47] Ibid. hal. 237-247
[48] Dr. Sulaiman Dunya, al-Haqîqah fî Nadhri al-Ghazâli, op. cit., hal. 42
[49] Abu Hamid al-Ghazali, Jawâhir al-Qur’an, ditahkik oleh Dr. Muhammad Rasyid Ridha al-Qabbany, Dar Ihya’ al-‘Ulum, Beirut, cet. III, 1990, hal. 41-42
[50] Abu Hamid al-Ghazali, Jawâhir al-Qur’an, op. cit., hal. 82-83
[51] Abdul Majid al-Shaghir, Abû Hâmid al-Ghazâlî Dirâsât fî Fikrihî wa ‘Ashrihî wa Ta’tsîrihî, Kulliyyah al-Adab wa al-‘Ulum al-Insaniyyah, Ribath, 1988, hal. 190. Lihat juga, Muhyiddin ‘Azuz, op. cit., hal. 177
[52] Bahkan al-Fâdlil Ibnu ‘Asyur mensinyalir bahwa permulaan filsafat Islam, yang benar-benar hasil karya umat Islam sendiri adalah dimulai sejak masa Ghazali ini. Lihat, Muhyiddin ‘Azuz, Ibid., hal. 60
[53] Ahmad Syamsuddin dalam pengantar al-Munqidh min al-Dhalâl, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah , op. cit., hal. 9
[54] Dr. Jamil Shaliba & Dr. Kamil ‘Iyadh dalam pengantar al-Munqidh min al-Dhalâl, Dar al-Andalus, op. cit., hal. 7
[55] Hal itu dapat terlihat dalam usahanya meyakinkan bahwa Isa as. Itu bukanlah Tuhan, akan tetapi hanyalah seorang Rasul yang diutus kemuka bumi. Metode ini di pakai juga oleh seorang Kristolog asal Afrika Selatan, Ahmad Deedat. Perbedaannya Ghazali lebih banyak menggunakan ilmu logika dan pengetahuan yang ia dapat dari Bibel, sedangkan Deedat mencampurkan keduanya dengan sejarah dan bukti-bukti ilmiah. Bandingkan antara al-Ghazali, al-Rad al-Jamîl li Ilâhiyyati ‘Îsâ, dan Ahmad Deedat, The Choice.
[56] Abdurrahman Badawi memmbedakan antara Ghazali dan Deekart dalam teori tentang keraguan (auhâm). Ghazali memulai keraguan hingga akhirnya mendapatkan keyakinan dengan “cahaya Tuhan” (bi nur qadhafahullah fi al-shadr). Sedangkan Dekaart memulainya dengan meragukan semua pendapat yang pernah di dengar hingga akhirnya mendapatkannya kembali dengan piranti akal. Lebih lanjut lihat, Abdurrahman Badawi, dalam Auhâm Haula al-Ghazal, hal. 3-5
[57] Teori meragukan akal untuk mencapai kebenaran sejati, merupakan antitesis dari teori yang di cetuskan oleh Socrates, kemudian dilanjutkan oleh Plato dan Aristoteles. Yakni; kebenaran sejati dapat dicerap oleh akal, bukan dengan hissy (sensualistis). Lebih lanjut lihat, ‘Iwadhullah Jad Hijazy, al-Mursyîd al-Salîm fî al-Manthiq al-Hadîts wa al-Qadîm, Dar al-Thaba’ah al-Muhammadiyyah, Kairo, cet. IX, 1998, hal. 27-29
[58] Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalâl, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, op. cit., hal. 25-29. Bandingkan dengan, Abu Hamid al-Ghazali, al-Qisthâs al-Mustaqîm, op. cit., hal. 61 dan 101
[59] Abu Hamid al-Ghazali, al-Qisthâs al-Mustaqîm, op. cit., hal. 41
[60] Baca lebih lanjut, Abu Hamid al-Ghazali, al-Hikmah fî Makhlûqâtillah, ditahkik oleh Dr. Muhammad Rasyid Ridha al-Qabbany, Dar Ihya’ al-‘Ulum, Beirut, cet. I, 1978, hal. 14
[61] Teori ini disabdakan oleh seorang Inggris bernama Charles Robert Darwin pada tahun 1985 M, yang terkenal dengan bukunya The Origin of Species. Lebih lanjut, lihat Harun Yahya, Memahami Allah Melalui Akal, diterjemahkan oleh Muhammad Shasiq, S.Ag, Versi Elektronik.
[62] Ahmad Syamsuddin dalam pengantar al-Munqidh min al-Dhalâl, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, op. cit., hal. 8
[63] Ini adalah catatan yang dibuat Masinion dalam bukunya. Untuk lebih lengkapnya, lihat Abdurrahman Badawi, Muallafât al-Ghazâli, Wakalah al-Mathbu’at, Kuwait, cet. II, 1977, hal. 10-17

Labels:

posted by Admin @ 4:46 PM,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home