Uraian Kritis Terhadap Buku Ta'lim al-Muta'allim

URAIAN KRITIS TERHADAP
BUKU TA’LÎM AL-MUTA’ALLIM*
KARYA : SYEIKH IBRAHIM BIN ISMA’IL AL-ZARNUJI
Oleh : MN. Ary B

Prolog
Berangkat dari sebuah pemahaman akan pentingnya obyektifitas dalam memahami segala hal[1], kami ajak anda untuk menelaah kembali turats-turats kita yang selama ini telah kita pahami sebagai bagian dari doktrin agama yang harus selalu dipertahankan[2]. Dan dengan melihat berbagai kelesuan yang saat ini tengah terjadi di dunia pesantren, kita coba untuk menelisik kembali beberapa hal yang kiranya telah menjadi penyebab terjadinya hal itu.
Kita awali dengan mengamati isu besar, bahwa terjadinya kemunduran di kalangan pesantren khususnya pesantren salaf di sebabkan oleh telah mengakarnya ajaran-ajaran yang terdapat dalam buku “Ta’lîm al-Muta’allim[3]”, apakah tuduhan ini berdasar ataukah tidak ? Mari kita kaji bersama.

Tidak seperti kebiasaan para komentator dalam mengkaji buku ini dengan hanya memaparkan hal-hal yang bersifat global, kami coba untuk mengkajinya justru berawal dari sesuatu yang sangat aplikatif, karena mengaca pada kenyatan bahwa efek yang dihasilkan oleh kitab ini di kalangan pesantren justru tidak hanya pada gambaran-gambaran besar saja, akan tetapi sudah mengakut pada apa yang tertulis pada naskah itu sendiri[4].
Buku “Ta’lîm al-Muta’allim” ditulis oleh seorang ulama pakar pendidikan Islam yang bernama Syeikh Ibrahim bin Isma’il al-Zarnuji. Beliau di perkirakan hidup diakhir abad ke enam hijriyah, sebagian versi menyatakan beliau meninggal pada tahun 591 H, 86 tahun setelah Imam Ghazali.
Syeikh Zarnuji hidup di daerah Zarnuj (Zurnuj), Zarnuj termasuk dalam wilayah Ma Warâ’a al-Nahar (Transoxinia)[5]. Wilayah ini merupakan salah satu basis madzhab Hanafi. Selain madzhab Imam Abu Hanifah itu, di Transoxinia juga berkembang madzhab Syafi’i.

Ada Apa Dengan Buku Ta’lîm al-Muta’allim
Secara singkat keganjilan yang terdapat dalam kitab “Ta’lîm al-Muta’allim” hanyalah terletak pada upaya pengkompilasian antara syariat, moral, dan mitos yang mengakibatkan rancunya poin inti dari metodologi pembelajaran yang diajarkan[6]. Penulis hanya akan memaparkan konsep-konsep yang rancu, disebabkan sudah sama dimaklumi tetap ada konsep yang baik dalam buku ini bagi keberlangsungan suatu pendidikan[7].

Proteksi Berlebihan
Adalah sesuatu yang berlebihan bila kita mengikuti anjuran Syeikh Zarnuji untuk hanya mempelajari ilmu yang ditinggalkan oleh Nabi Saw ,para sahabat, tabiin, serta tabi' tabi’in kepada kita dengan menafikan cabang-cabang ilmu keagamaan yang datang setelahnya, seakan kita tidak mengakui adanya proses sayrurah alam yang telah menjadi sunnatullah tuhan dimana kita tidak ikut berjalan maka kita akan ditinggalkan[8],Dari sini bisa dilihat cara berpikir Syeikh Zarnuji dengan keyakinannya bahwa masa-masa terbaik adalah pada dekade awal Islam, padahal kalau kita coba benar pahami perjalanan Islam selama ini justru akan kita temukan berbagai macam perbaikan yang mengacu pada ilmu-ilmu yang datang setelahnya, dengan tidak menafikan kerusakan yang diakibatkan .
Anjuran Syeikh Zarnuji diatas justru bertentangan dengan hadits Nabi Saw, yang dia kutip di halaman berikutnya : “Hikmah adalah perbendaharaan yang hilang dari orang beriman, dimanapun kalian temukan, ambillah”[9].
Sebagaimana ilmu mantiq dan filsafat, dengannya kita mampu memahami Islam secara rasional bukan hanya pada keyakinan yang tak berdasar pada proses olah pikir, dengan membabi buta mengikuti Al-Qur'an dan Sunnah Rasul Saw tanpa adanya proses telaah dan analisa[10]. Padahal sudah menjadi pemafhuman yang jelas, bahwa suatu keyakinan adalah setelah kita mamahami, sehingga keyakinan menjadi sesuatu yang berarti, karena sesuai dengan logika kemanusiaan dan kejinan. Karena Islam diturunkan ke dunia ini diperuntukkan manusia dan jin maka harus sesuai dengan logika manusia dan jin pula[11]. Allah Swt tidak akan mentaklifi sesuatu jika manusia tidak bisa memahami dan memikulnya[12].
Adapun kehawatiran Syeikh Zarnuji menjauhnya umat dari agama, dan banyaknya pertentangan dalam pemahaman terhadapnya adalah suatu kehawatiran yang kurang berdasar. Karena dengannya Islam menjadi lebih berwarna, hingga umat mampu memilah mana yang terbaik dan sesuai bagi mereka, sesuai dengan hukum universalitas Islam. Islam benar-benar menjadi rahmah li al‑âlamîn[13].
Bagaimanapun juga perbedaan adalah sunnatullah yang tak mungkin bisa dihindari[14]. Bermula dari awal lahirnya Islam pun hal itu sudah tampak dari perbedaan pemahaman para sahabat terhadap sabda-sabda Nabi Saw, seperti dalam kasus "Shalat Ashar di Bani Quraidhah"[15].

Antara Maksiat Dan Belajar
Bisa ditilik dari sikap tidak sukanya Syeikh Zarnuji terhadap ilmu mantiq dan filsafat mengakibatkan rancunya metode kiyas dalam pengkiyasan antara perihal ma’nawî dengan sesuatu yang hakîkî[16]. Hal ini dapat di temukan dalam nasehatnya bagi seorang murid untuk menjauhkan diri dari akhlak yang tercela, karena akhlak yang tercela bagaikan anjing secara ma'nawî, sedangkan Nabi saw pernah bersabda bahwa malaikat tidak akan masuk dalam suatu rumah yang didalamnya terdapat gambar ataupun anjing (dalam hal ini adalah anjing secara hakîkî), dan ilmu masuk kedalam otak manusia dengan lantaran malaikat[17].
Nasihat ini yang kelihatan sepele tapi akan sangat berefek bagi seorang yang sedang belajar, karena bagi seorang yang masih merasa sering melakukan maksiat akan ogah-ogahan dalam belajar. Padahal tidak ada hubungan antara maksiat dan belajar, keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri, belajar berada dalam wilayah metodologi pembelajaran sedangkan maksiat dalam wilayah syariat. Jadi penulis yakinkan bahwa maksiat tidak akan mempengaruhi belajar, kecuali apabila maksiat tersebut memberikan akibat pada saat proses belajar sedang terjadi, seperti seorang pelajar yang terbayang kekasihnya disaat dia sedang belajar[18].

Ta’dhîm Dan Barakah[19]
Terdapat sebuah keterangan dalam kitab ini, dimana seorang murid tidak akan mendapatkan ilmu serta manfaat dari apa yang telah dikajinya kecuali jika selalu dibarengi dengan rasa hormat terhadap ilmu yang sedang dikaji, juga guru yang telah mengajarnya[20]. Bahkan dibumbui anjuran yang bersifat mitos bagi seorang yang menginginkan keturunannya menjadi seorang ‘âlim, untuk menghormati ulama dengan berbagai jalan diantaranya dengan memberikan sesuatu hal yang bermanfaat bagi para ulama[21].
Anjuran tersebut memang tidak ada salahnya, hanya saja dalam metode penyampaiannya sangat membahayakan bagi para pembaca, karena disitu terdapat pencampuradukan antara mitologi dan moralitas. Bagaimanakah seseorang dengan menghormat guru bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat ? Bermanfaat atau tidaknya suatu ilmu itu bergantung kepada si murid itu sendiri, bisa memanfaatkan ilmunya ataukah tidak. Walaupun menghormati guru wajib secara moral.
Bahkan lebih jauh lagi dalam baris-baris setelahnya di jelaskan tentang hal-hal aplikatif yang bisa menyebabkan berkembangnya budaya feodal di dunia pendidikan[22], yang tentu saja budaya ini akan berefek sangat buruk hingga berujung hilangnya budaya kritik di kalangan pesantren[23].
Sebagaimana tersirat dalam teks kitab ini, posisi guru seakan adalah penentu utama bagi keberlangsungan pembelajaran si murid dan masa depannya, mengusung sistem belajar siswa pasif (sebagai ungkapan sulitnya terjadi keaktifan murid) karena guru adalah penentu utama, semua kembali kepada guru, menentang berarti berdapan dengan kuwalat ( lawan ekstrim dari barakah )[24].
Walhasil konsep yang dipaparkan oleh Syeikh Zarnuji terlihat sangat tidak adil (baca: seimbang) karena terkesan lebih sangat mengunggulkan hak guru dalam mengatur murid hingga pada hal-hal yang sangat spesifik, seperti sikap pasrah seorang murid untuk menentukan apa yang seharusnya dipelajarinya. Baik kalau si murid masih berusia muda, lalu kalau sudah dewasa ? Kiranya murid itu sendiri lebih tahu akan tabiat dirinya untuk mengambil apa yang sebaiknya dipelajari[25].
Dari membaca pemahaman konsep Syeikh Zarnuji terhadap hubungan timbal balik antara guru dan murid dapat dilihat sangat sesuai dengan konsep-konsep sebagian Sufi, yang mendudukkan murid seakan mayit dihadapan guru[26], dan sangatlah tidak mengherankan jikalau alasan-alasan yang sering di kemukakan lebih diwarnai oleh mitos-mitos karena memang secara jujur harus kita akui bahwa menjamurnya mitos-mitos sangat banyak berkembang di dunia sufistik[27], dengan tidak menafikan tasawwuf yang logis.
Suatu hal yang terkadang menjadi kesalahpahaman diantara para pelajar dalam memahami suatu istilah disebabkan kerangka pemahaman yang di paparkan dalam kitab Syeikh Zarnuji ini, adalah berubahnya nilai horizontal menjadi sesuatu yang bersifat vertikal di dalam pemahaman terhadap konsep barakah seorang guru, peristiwa manusiawi menjadi perihal yang seakan metafisis, keadaan rasional menjadi tidak rasional lagi, barakah guru seakan sesuatu yang lebih besar daripada proses belajar itu sendiri, hingga terkadang proses belajar di nafikan demi mengejar sesuatu yang bernama "Barakah"[28].
Barakah telah berubah dari makna aslinya, menjadi suatu mitos yang menyesatkan, bagaimanakah mungkin dengan mengabdi kepada guru demi mengharap barakah ilmunya, tanpa sedikitpun diajar ilmu nahwu dapat menjadi seorang yang ahli dalam bidang nahwu ? Omong kosong yang sama sekali tidak rasional.

Perlunya Analisa Sejarah
Satu hal yang sering dilakukan oleh Syeikh Zarnuji untuk memperkuat argumentasinya adalah dengan mengutip kisah-kisah yang di dalamnya terkandung mitos tanpa mengorek sedikitpun apa yang terjadi dibalik terjadinya hal itu, atau dalam bahasa lain terdapat kisah tersembunyi yang tidak berhasil diungkapkan oleh Syeikh Zarnuji. Sebab kisah pada suatu keadaan telah terbumbui oleh mitos yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Karena itu sangatlah perlu kajian filsafat sejarah dalam menguraikan suatu kejadian yang sekiranya tidak masuk akal[29].
Seperti dalam kisah yang diceritakannya tentang dua orang pelajar yang belajar secara bersamaan, seorang berhasil sedangkan seorang lagi gagal, keberhasilah salah satunya di anggap sebagai barakah dari istiqamahnya menghadap kiblat saat belajar[30], tanpa menguraikan hal lain yang lebih logis dalam mengamati terjadinya keberhasilan si murid.
Alasan-alasan tidak logis seperti ini banyak sekali terdapat dalam kitab ini, hal ini amat berbahaya karena bisa berimbas terbaliknya cara berpikir para pelajar, dengan lebih percaya kepada hal-hal yang berbau tahayyul daripada perkara yang logis, berakibat lebih menitikberatkan kepada suatu usaha maya daripada upaya nyata.

Sebab Tak Beralasan
Lebih dari itu, berlepas dari baik buruknya keterangan yang disuguhkan oleh Syeikh Zarnuji acapkali mengandung hal-hal yang berbau khurafat[31].
Seperti keterangannya tentang perkara yang bisa mengakibatkan kefakiran, diantaranya tidur dan buang air dalam keadaan telanjang, makan disaat junub, menyapu rumah waktu malam, berjalan di depan orang yang sudah tua, menyebut kedua orang tua langsung namanya[32], dan masih banyak lagi hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan masalah kaya dan miskin dalam arti secara langsung[33].

Penutup
Sebuah konsep, pada suatu masa, tempat, atau keadaan tertentu mungkin sesuai dengan semangat sosial saat itu, tapi terkadang pada waktu konsep itu diusung ke kebudayaan lain akan terkesan canggung dan merugikan dalam membangun sebuah realitas.
Begitupun buku karangan Syeikh Zarnuji sangatlah perlu untuk dikaji kembali dan kemudian di analisa, apakah sesuai dengan semangat membangun bagi pendidikan di pesantren Indonesia. Karena bagaimanapun juga sebuah konsep akan sangat mempengaruhi hasil dari proses belajar-mengajar tersebut.
Seperti yang penulis paparkan sedari awal, penulis lebih menekankan dalam melihat hal-hal aplikatif dari kitab ini, bukan melulu mengamati kerangka globalnya, karena pengamalan kitab ini di pendidikan pesantren telah mengakar beserta anjuran aplikatifnya dan hampir-hampir menjadi doktrin yang sejajar dengan aturan-aturan baku dalam syariat, sehingga akan sangat membahayakan bagi para pelajar dalam hegemoni cara pikir.
Berangkat dari pengamatan itu, sangatlah wajar jika diantara komentator buku ini, menganjurkan dibuangnya buku ini dari pengajian-pengajian yang ada di pesantren. Bahkan ada yang lebih radikal lagi mengatakan penyebab kemunduran mutu pendidikan pesantren adalah buku Ta’lîm al-Muta’allim.

Makalah ini dipresentasikan dalam Diskusi Dwi Mingguan FORMASI, dengan rujukan utama buku Ta’lîm al-Muta’llim. Cet, Maktabah Muhammad Bin Ahmad Nabhan, Surabaya. Tanpa tanggal terbitan. *
Mahasiswa Al-Azhar, Islamic and Arabic Studies Faculty, Cairo, yang juga Bakul Tempe Cap PATREM ™
[1] Walaupun tidak dimugkinkan adannya obyektifitas sejati, karena setiap obyektifitas selalu berhadapan dengan obyektifitas lain, hingga setiap obyektifitas terbelenggu oleh obyektifitasnya sendiri, dengan semua belenggunya usaha pemaksimalan obyektifitas adalah yang terbaik
[2] Kita disini, kita sebagai bagian dari kaum ortodoksi Islam, dalam lingkup kultur sosial
[3] Sebelum buku ini sebenarnya sudah ada buku lain yang mengajarkan tentang metodologi pendidikan diantaranya al-Targhib Fi al-Ilmi, karya Isma’il al-Muzani (w.264 H), juga Bidâyat al-Hidâyah dan Minhaj al-Muta’allim karya Imam al-Ghazali (w.505 H), akan tetapi Ta’lîm al-Muta’allim cenderung lebih mengakar di pesantren tradisional daripada kitab-kitab yang lain.
[4] Dengan mengamati realita yang terjadi di pesantren-pesantren tradisional, terkadang santri mengikuti secara saklek apa yang tertulis dalam kitab itu. Tidak hanya dengan mengambil pesan moral yang relevan, karena ada sebagian yang sedari awal memang sudah tidak relevan.
[5] Lihat Mu’jam al-Buldân
[6] Dalam pandangan penulis, pemahaman akan syariat dan moral haruslah di pisahkan, karena bisa menyebabkan tumpang tindihnya pemahaman , sehingga mengakibatkan suatu pemahaman yang rancu pula. Apalagi suatu mitos haruslah dijauhkan dari suatu proses pembelajaran yang berakibat siswa didik menjadi terlena dengan mitos-mitos tersebut.
[7] Diantaranya konsep “Niat”, lihat al-Zarnuji, Ta’lîm al-Muta’allim hal.10
[8] Idem. hal.13
[9] Berlepas dari shahih tidaknya hadits ini.
[10] Terkadang diantara kita meyakini kebenaran Al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw, hanya dengan keyakinan yang disandarkan kepada keyakinan itu sendiri, tanpa adanya usaha obyektifitas keilmuan dengan mendudukkan al-Qur’an atau Hadits itu sendiri sebagai sebuah entitas dalam posisi yang dipertanyakan.
[11] Bandingkan dengan QS. al-Baqarah: 44 dan 242, QS. Yusuf : 2, QS. Ali Imran: 65, QS.al-A’raf:169, al-Anbiya’:10, al-Zukhruf: 3.
[12] Bandingkan dengan QS. al-Baqarah: 185, QS. al-Maidah: 6, QS. al-Nisa’:28, QS. al-Haj: 78. Juga HR.Bukhari dan Muslim, lihat Lu’lu’ Wa al-Marjân: 1130 dan 1131.
[13] Tujuan diutusnya Nabi Muhammad Saw kemuka bumi ini adalah menyebarkan syariat Islam, hingga bisa menjadi rahmah bagi sekalian alam. Lihat QS. al-Anbiya’:107.
[14] Walaupun terkadang para pengkaji sering menggunakan hadits dhaif dalam menjustifikasi permasalahan ini, yakni hadits “Ikhtilâfu ummatî rahmah”, lihat Faidh al-Qadîr: 288 dan al-Ahâdîts al-Dha’îfah: 58, akan tetapi perbedaan tetap adalah sunnatullah yang tidak mungkin bisa dihindari.
[15] Lihat Shahih Bukhari, Kitâb al-Jam’ah: 894, juga Kitâb al-Maghâzi: 3810.
[16] Dalam pengkiyasan harus ada keseimbangan dua arah, baik dari segi bentuk maupun esensi, sehingga tercapai kiyas yang salim. Bandingkan dengan, ‘Iwadhullah Jad Hijazi, al-Mursyîd al-Salîm Fi al-Manthiq al-Hadits Wa al-Qadîm ( Kairo: Dâr al-Thibâ’ah al-Muhammadyyah, 1998 ) hal. 189-190
[17] Al-Zarnuji.op.cit., hal. 20
[18] Efek dari maksiat terhadap belajar tidaklah secara langsung, dalam arti pancaran dari kemurkaan tuhan, akan tetapi hanyalah bersifat atsarî
[19] Barakah dalam perspektif kami adalah bertambahnya suatu kebaikan secara realistis bukan secara supernatural. Bandingkan dengan Muhammad Bin Jurair al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân Fî Ta’wîl al-Qur’an ( Kairo: Maktabah Taufîqiyyah ) Jilid 9, hal. 94. Juga al-‘Allâmah Ibnu Mandhur, Lisân al-‘Arab ( Kairo: Dâr al-Hadîts ) Juz. 1 hal. 398
[20] Al-Zarnuji, op.cit., hal. 16
[21]Al-Zarnuji op.cit., hal. 17
[22] Seperti memulyakan putra sang guru secara berlebihan, op.cit, hal. 17-18
[23] Sebagaimana diungkapkan oleh DR. Said Aqil Siradj kepada Gatra pada tahun 1996, bahwa yang menyebabkan kejumudan dan tak adanya budaya kritik di pesantren adalah kitab Ta’lîm al-Muta’allim
[24] Al-Zarnuji op.cit., hal. 16-20
[25] Al-Zarnuji op.cit., hal. 19
[26] Lihat. Silsilah al-Kutub al-‘Azmiyyah, al-Shûfiyyah Fî ‘Uyûn Salafiyyah ( Lajnah al-Buhûts Wa al-Dirâsât Bi al-Thariqah al-‘Azmiyyah, 2005 ) hal. 255
[27] Bandingkan dengan, Abi al-Faraj Bin al-Jauzî al-Baghdâdî, Talbîs Iblîs ( Mashurah: Maktabah al-Îmân ) hal. 401
[28] Observasi terhadap banyak kejadian yang ada di pesantren.
[29] Lihat, Abdurrahman Bin Khaldun, Muqaddimah (Kairo: Dâr al-Fajr Li al-Turâts, 2004 ) hal. 21
[30] Al-Zarnuji, op.cit., hal. 40
[31] Terpaksa kami menggunakan terma ini, dikarenakan tidak ada terma lain yang lebih sesuai.
[32] Al-Zarnuji op.cit., hal. 43-44
[33] Walaupun dalam hal ini al-Zarnuji menyandarkan uraiannya kepada para sahabat Nabi Saw, akan tetapi belum di uji secara historis maupun kebenaran esensi pendapat ini.

Labels:

posted by Admin @ 4:46 PM,

7 Comments:

At March 22, 2009 at 3:25 AM, Blogger Unknown said...

Tulisan yang bagus.
Namun sudut pandang berbeda akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula.

Kitab Syekh Zarnujy terlihat seperti sekolah di thoriqoh sufiyah. Contoh : Murid harus sam'an wa tho'atan kepada guru.

Sedangkan anda lebih melihat pada syar'iyyah fiqhiyyah, atau lebih menekankan pada rasionalisasinya. "hum rijal wa nahnu rijal"'.

Contoh mudahnya;
Teori fiqihnya, sholat dengan memakai baju curian adalah sah, karena tidak bersinggungan dengan syarat dan rukun. Namun tidak sah secara hakekat, karena "innalloh thoyyib, la yaqbalu illa thoyyiban".


Jadi........ bagaimana bisa ketemu ya...

 
At August 5, 2011 at 6:20 AM, Blogger Taq'n_Go said...

maukah anda yang menulis artikel ini dipanggil oleh anaknya dengan memanggil namanya tanpa adanya penghormatan, apakah anda mau menciptakan sebuah karangan buku dan apakah buku tersebut banyak dibaca oleh orang lain sampai puluhan tahun bahkan ratusan tahun... pikir dulu dengan hati yang bijak sebelum membuat artikel ini...karena banyak orang pandai tetapi tidak bisa memberi manfaat kepada yang lainnya disebabkan sifat dan tingkah lakunya yang kurang baik. terima kasih atas artikelnya.

 
At November 10, 2011 at 3:56 PM, Blogger kelinci cilacap said...

bandingkan dengan ini, lebih bagus.... dan tidak berani mengumpat syaikh zarnubi...

http://www.scribd.com/doc/54291272/Artikel-Profil-Guru-Al-Zarnuji

 
At January 8, 2012 at 7:52 PM, Blogger Anandastoon said...

Artikel yang menarik,, saya paham, mungkin anda hanya memberikan informasi saja tanpa harus memberikan penilaian seorang 'alim (ulama=jamak) dan tokoh yang berpengalaman (Syaikh=tua).
Sekarang apa yang menyebabkan Islam mundur adalah terlalu mengkritisi (baik yang menulis artikel ini maupun yang mengomentari). Sungguh carilah ilmu berdasarkan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW, adapun kitab syaikh Zarnujy sebagai salah satu penunjang. Mungkin ada beberapa yang mengandung mitos di dalam kitab itu dsb. Namun, kebaikan2 juga sangat banyak berlimpah apabila kajian lebih dalam.
"Ta'allam! Karena ilmu merupakan penghias liahlihi" dst.
Untuk belajar, sebaiknya imbang antara dunia dan akhirat, -Rasulullah SAW menyuruh demikian-, Karena ilmu itu dapat meninggikan derajat penuntutnya (Allah yang meninggikan derajatnya (Al-Mujadalah:11)).
Berhentilah terlalu mengomentari, kejarlah bakatmu dan belajar! Belajar! Jangan sampai untuk didunia ini saja kita ditertawakan nonmuslim, sungguh, inipun jihad jika mereka mengetahui. Pelajari Al-Qur'an, Hadits, Kitab-kitab, Fiqih, dan juga pelajarilah matematika, fisika, komputer LILLAHI TA'ALA! Insya Allah bahagia dunia akhirat dengan Niat, Usaha, Do,a, Sabar dan Syukur.
Wallahu a'lam bishshawaab!

 
At August 30, 2012 at 12:17 AM, Blogger riziq said...

Saya justru berfikir lain, justru dengan adanya kitab ta'limul muta'alim membuat Dunia pesantren mampu menumbuhkan generasi yang berakhlaqul karimah,

Adapun kemunduran Pesantren salaf akhir-akhir ini itu banyak paktor, diantaranya tidak adanya pengakuan dari pemerintah, mengkategorikan pendidikan pesantren sebagai pendidikan non formal, dan Syahadah / ijazah nya tidak diakui dan tidak bisa untuk melamar pekerjaan.

 
At October 28, 2015 at 7:02 AM, Blogger Miftachul Huda said...

Huda, M., & Kartanegara, M. (2015). Islamic Spiritual Character Values of al-Zarnūjī’s Taʻlīm al-Mutaʻallim. Mediterranean Journal of Social Sciences, 6(4), 229.

 
At September 26, 2018 at 5:33 PM, Blogger RUQYAH DAN BEKAM said...

justru masa-masa pesantren inilah yang kita rindukan sekarang ini, karena budaya akhlak murid kepada gurunya sudah hilang.

 

Post a Comment

<< Home